MAKNA
“TARI SEBLANG”
( STUDI
DESKRIPTIF DI DESA OLEHSARI DAN BAKUNGAN KECAMATAN GLAGAH KABUPATEN BANYUWANGI
)
MAKALAH
Diselesaikan
guna melengkapi tugas mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia
oleh
1. Siti Zulaikha M (120910201073)
2. Faisalreza (1209102010 14)
3. Indra Dwi A (150910201003)
4. Nissa’ Dian K.S (150910201010)
5. M. Arja Farah (150910201012)
6. Devita Nurfitri A (150910201013)
7. Woni Tri Marsi (150910201020)
8. Ari Kerta Wijaya (150910201027)
9. Anita Lestari (150910201041)
10. Wahyu Iqbal M (150910201048)
JURUSAN
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
JEMBER
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah Sistem Sosial Budaya Indonesia yang berjudul “Makna
Tari Seblang”.
Untuk
penyajian materi Sistem Sosial Budaya Indonesia , makalah ini dibuat untuk
membantu pembaca supaya lebih memahami makna tari Seblang. Maka dengan itu,
makalah ini ditulis dan disusun secara ringkas agar dapat mudah dipahami.
Harapan penulis adalah bahwa makalah yang dibuat ini dapat membantu pembaca
dalam proses pemahaman, sehingga merasa puas dan tertarik untuk mengetahui
tentang apa itu Integrasi.
Penulis
sangat berterima kasih atas semua partisipasinya, dan tidak lupa penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca guna untuk memperbaiki makalah yang selanjutnya.
Jember,
20 Mei 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam peta geografi kebudayaan
Banyuwangi, komunitas Using menempati wilayah tengah hingga ke arah Timur
Banyuwangi. Mereka berdiam secara menyebar di Kecamatan Giri, Kabat, Glagah,
Rogojampi, Singojuruh, Genteng, dan Srono. Dalam kenyataannya sekarang,
terutama di dua kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk Non
Using yang kebanyakan datang dari jawa kulon. Secara geografis, wilayah ini
berada diujung timur pulau jawa dan berseberangan dengan Pulau Bali. Kondisi
geografis tersebut ternyata menempatkan komunitas dan budaya Osing berada di
paling pinggir Jawa dan Bali.
Sejumlah
ahli antara lain, Scholte (1927); Stoppelaar (1927); Heru Santosa (1987); dan
Wolbers (1992), menyebut bahwa komunitas Using terbentuk melalui proses
sosial-politik yang cukup panjang, penuh dengan ketegangan konflik antara
penduduk-penguasa di Banyuwangi disatu pihak dengan penduduk-penguasa Jawa
bagian barat (wong kulonan) dan Bali dipihak lain. Secara historis, Banyuwangi
merupakan pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih
merupakan bagian dari Majapahit, seperti yang tertera dalam berbagai babad
berikut: Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Bbad
Bayu, dan Babad Notodiningratan. Majapahit diakhir abad XV memberi kesempatan
bagi Blambangan untuk melepaskan diri
dari kekuasaan manapun. Tetapi kerajaan – kerajaan yang muncul kemudian seperti
Demak, Pasuruan, Mataram, dan Bali ternyata tetap menempatkan Blambangan sebagi
daerah yang harus ditahklukan dan dikuasai. Bahkan Mataram bekerja sama dengan
VOC, sempat menahklukan Blambangan pada tahun 1767. VOC yang masih menganggap
Blambangan belum aman, melancarkan serangan berikutnya (1771-1772) yang
memperoleh perlawanan keras dari Blambangan dibawah pimpinan Mas Rempeg atau
Pangeran Jagapati sebuah pertarungan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.
Belanda
tidak hanya berhasil memenangkan peperangan itu, karena tidak lama kemudian ia
memboyong sejumlah tenaga kerja dari Cirebon, Banyumas, dan Kebumen untuk
dipekerjakan di perkebunan – perkebunan milik Belanda yang ada dibumi
Blambangan. Kehadiran tenaga kerja ini kemudian disusul oleh gelombang Migrasi
dari jawa kulon untuk berbagi pekerjaan, khususnya dibidang perkebunan dan
pertanian yang tampak membanjir sejak akhir abad XVIII atau awal abad XIX
(Stoppelaar, 1927:6; Heru Santosa, 1987:14;84). Tidak hanya dari jawa bagian
barat, migrasi serupa juga berdatangan Madura, Bali, Bugis dan Mandar sehingga
sejak abad XIX Banyuwangi tidak lagi dihuni oleh komunitas Using yang homogen
melainkan bercampur dengan berbagai pendatang. Jika pada akhir abad XIX
penduduk Banyuwangi berjumlah 100.000 jiwa maka lebih dari separohnya
diperkirakan berasal dari kaum Migran (Ali, 1993: 5).
1.2 Rumusan
Masalah
Permasalahan
pokok dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :
1.
Apakah sebenarnya
simbolisme dalam upacara seblang?
2.
Apa yang ingin
dijelaskan oleh komunitas Using pada upacara seblang yang lahir saat terjadinya
perebutan wacana ritus antara Jawa Kulon, Bali dan using sendiri?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini dilakukan
untuk mendeskripsikan upacara Seblang sebagai
event kultural. Dengan demikian, gejala yang ada diartikan sebagai
kesatuan peristiwa-pelaku penafsiran sebuah komunitas melihat dan menafsirkan
kehidupan sekitarnya kemudian menampilkannya dalam sebuah upacara. Sebagai
siklus yang dianggap sakral oleh masyarakat Using, maka upacara seblang juga
sarat dan simbol – simbol yang menyertainya. Unsur – unsur simbolis tersebut
sering kali menjadi pandangan hidup masyarakatnya, selain itu bagaimana
komunitas Using memandang, meyikapi, dan menyiasati himpitan dua kebudayaan
Jawa dan Bali.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1 Definisi
Seblang
Seblang adalah sebuat ritual
tradisional khas suku Osing. Untuk lebih mudahnya biasa di sebut saja sebagai
tarian Seblang, karena di beberapa aspek nya memperlihatkan tari-tarian untuk
mengucap syukur dan tolak bala agar desa tetap aman dan tentram.
Ritual
Seblang hanya akan dijumpai di dua desa di Banyuwangi yaitu desa Bakungan dan
Olehsari, yang keduanya masuk dalam kecamatan Glagah.
Pelaksanaan
tari Sablang berbeda antara desa Bakungan dan desa Olehsari. Untuk masyarakat
di desa Olehsari diselenggarakan saat satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan
di desa Bakungan diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Untuk
para penari yang akan membawakan tarian Seblang haruslah keturunan dari penari
sebelumnya dan di pilih langsung oleh “dukun” setempat. Ketentuan di desa Olehsari,
penari harus dalam usia sebelum akil balik, sedangkan di Bakungan penari
haruslah wanita berusia 50 tahun keatas, atau yang telah Menopause.
Tari
ini melambangkan kesakralan, ritual pertemuan dua dunia, sekaligus sebagai rasa
syukur atas karunia yang diberikan oleh sang Pencipta dan juga menjadi
permohonan untuk tolak bala. Di arena tempat diadakannya ritual Seblang ini,
ada pula amben, semacam meja kecil tempat menaruh boneka nini towok,
bunga-bunga yang nantinya akan dijual pada penonton, hiasan dari janur, tebu,
padi hingga sesajen.
Hiasan
padi, tebu dan tanaman pangan lainnya adalah melambangkan kesuburan yang patut
disyukuri. Sedangkan, boneka nini towok, dalam beberapa kepercayaan di Jawa,
adalah merupakan simbol padi dan kesuburan. Di kanan-kiri amben, tampak duduk
berjejer para pemangku adat dan juga master
of ceremony. Ritual Seblang adalah salah satu ritual masyarakat Osing yang
hanya dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi,
yakni desa Bakungan dan Olehsari. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan
bersih desa dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram.
Penyelenggaraan
tari Seblang di dua desa tersebut juga berbeda waktunya, di desa Olehsari
diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang
bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Para
penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penari
harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa Olehsari,
penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan,
penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid
(menopause).
Tari
Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat tua, hingga sulit dilacak
asal usul dimulainya. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa Seblang pertama
yang diketahui adalah Semi, yang juga menjadi pelopor tari Gandrung wanita
pertama (meninggal tahun 1973). Setelah sembuh dari sakitnya, maka nazar ibunya
(Mak Midah atau Mak Milah) pun harus dipenuhi, Semi akhirnya dijadikan Seblang dalam
usia kanak-kanaknya hingga setelah menginjak remaja mulai menjadi penari
Gandrung.
Tari
Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh sang dukun desa atau
pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang berada
dibelakangnya, sambil memegang tempeh (nampan bamboo). Sang dukun mengasapi
sang penari dengan asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang penari
kesurupan (taksadarkan diri atau kejiman dalam istilah lokal), dengan tanda
jatuhnya tampah tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Penari seblang yang sudah
kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah
sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Kadang juga
berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari, kemudian si
seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang
terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak,
maka dia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.
Musik
pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul atau
gong dan dua buah saron. Sedangkan di Olehsari ditambah dengan biola sebagai
penambah efek musikal.
Dari
segi busana, penari Seblang di Olehsari dan Bakungan mempunyai sedikit perbedaan,
khususnya pada bagian omprok atau mahkota.
Pada
penari Seblang di desa Olehsari, omprok biasanya terbuat dari pelepah pisang
yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari, sedangkan bagian
atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil dari kebun atau area
sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil yang ditaruh di bagian
tengah omprok.
Pada
penari Seblang wilayah Bakungan, omprok yang dipakai sangat menyerupai omprok
yang dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat
dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari
seblang di Olihsari. Disamping unsure mistik, ritual Seblang ini juga
memberikan hiburan bagi para pengunjung maupun warga setempat, dimana banyak
adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh sang penari seblang ini.
Kajian
ini diarahkan untuk memaknai ritus Seblang sebagai pertunjukan. Pertunjukan
dianggap sebagai mode perilaku dan tipe peristiwa komunikasi yang memiliki
dimensi proses komunikasi dengan muatan sosial, budaya, dan estetis sebagai
suatu aktifitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam ruang dan
waktu tertentu (Bauman, 1992;41-47;Sutarto, 1997; 41-42). Untuk menafsirkan
pertunjukan, perlu diketahui pula latar belakang masyarakat yang terlibat, baik
mengenai sejarah, budaya, dan bahasa, selanjutnya seting pertunjukan harus
dibatasi pada konteks ruang, budaya, dan sosial tertentu pula. Selain itu, juga
memfokuskan pada deskripsi lengkap bentuk dan susunan, penggunaan bahasa,
musik, gerakan – gerakan dan interaksinya, serta interaksi antara para pelaku
dan penonton (Day, 1996;1).
Selain
pertunjukan, untuk menafsirkan makna Seblang sebagai tindakan simboli, kajian
ini memandang peristiwa ritus Seblang sebagai kesatuan peristiwa-pelaku-penafsiran.
Kajian ini juga menggali nyanyian yang menyiratkan simbol – simbol dan ritus
Seblang. Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji simbol ritus Seblang adalah pendekatan yang
disebut Turner sebagai Prosessual Symbology, yakni bagaimana simbol menggerakan
tindakan sosial masyarakat dan melalui proses yang bagaimana simbol memperoleh
dan memberikan arti kepada masyarakat dan pribadi (Lessa dan Vogt, 1979:91).
Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada dinamika sosial, berbeda dengan
kerangka analisis struktural yang statis, mapan, dan otonom karena tidak
menggambarkan proses. Dengan pendekatan tersebut, dapat diamati bagaimana
masyarakat menjalankan, melanggar dan memanipulasi norma – norma dan nilai –
nilai yang diekspresikan oleh simbol untuk kepentingan kolektif dan pribadi
(Turner, 1994:44). Hal ini mengingatkan bahwa simbol umumnya dihubungkan dengan
keinginan – keinginan masyarakat, tujuan – tujuan dan maksud – maksud tertentu
yang diucapkan secara eksplisit. Seperti halnya, apa yang hendak dijelaskan oleh
komunitas Using dengan upacara Seblang adalah suatu yang berkaitan dengan
persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi dan ekologi yang lebih luas.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Makna dalam
Upacara Seblang
Sebagai siklus yang dianggap sakral,
upacara seblang sarat dengan simbol – simbol yang mengelilinginya. Hal ini
terlihat dari ciri – ciri khas dalam pelaksanaannya, seperti: (1) waktu upacara
harus merupakan waktu terpilih, (2) tempat penyelenggaraan upacara harus tempat
terpilih, (3) orang yang diupacarakan harus dalam keadaan bersih secara spiritual, (4) upacara harus dipimpin oleh
orang terpilih, (5) sesaji merupakan syarat pelengkap utama yang tidak boleh
ditinggalkan. Selain itu simbol – simbol dapat terlihat dari setiap tahapan
yang harus dilalui pelaku Seblang selama upacara berlangsung. Simbol dirumuskan
sebagai jenis simbol yang signifikan yang mengacu pada sesuatu secara langsung
dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan lagi dengan makna yang lain,
yakni makna yang mendalam dan figuratif. Hal ini dapat terjadi apabila menembus
pada makna yang pertama.
Keberadaan simbol berperan penting
dalam upacara Seblang. Pertunjukan ritual Seblang dimaksudkan sebagai gambaran
kehidupan manusia dalam menghadapi krisis di kehidupan sehari – hari. Melalui
sistem simbol tersebut akan tampak rumusan pandangan – pandangan, abstraksi –
abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat di indrai,
perwujudan konkret dari gagasan, sikap, putusan atau keyakinan dan unsur –
unsur simbolis tersebut merupakan implementasi dari perasaan, emosi, sekaligus
tindakannya yang seringkali menjadi pandangan hidup masyarakatnya. Hal ini
memperlihatkan terdapat hubungan erat antara ritus dengan kehidupan sehari –
hari masyarakat Osing.
3.2 Penjelasan
Komunitas Osing Pada Upacara Seblang yang Lahir Saat Terjadi Perebutan Wacana
Ritus Antara Jawa Kulon, Bali dan Osing.
Sejumlah
ahli antara lain, Scholte (1927); Stoppelaar (1927); Heru Santosa (1987); dan
Wolbers (1992), menyebut bahwa komunitas Osing terbentuk melalui proses
sosial-politik yang cukup panjang, penuh dengan ketegangan konflik antara
penduduk-penguasa di Banyuwangi disatu pihak dengan penduduk-penguasa Jawa
bagian barat (wong kulonan) dan Bali dipihak lain. Secara historis, Banyuwangi
merupakan pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih
merupakan bagian dari Majapahit, seperti yang tertera dalam berbagai babad
berikut: Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad
Bayu, dan Babad Notodiningratan. Majapahit diakhir abad XV memberi kesempatan
bagi Blambangan untuk melepaskan diri
dari kekuasaan manapun. Tetapi kerajaan – kerajaan yang muncul kemudian seperti
Demak, Pasuruan, Mataram, dan Bali ternyata tetap menempatkan Blambangan sebagi
daerah yang harus ditahklukan dan dikuasai. Bahkan Mataram bekerja sama dengan
VOC, sempat menahklukan Blambangan pada tahun 1767. VOC yang masih menganggap
Blambangan belum aman, melancarkan serangan berikutnya (1771-1772) yang
memperoleh perlawanan keras dari Blambangan dibawah pimpinan Mas Rempeg atau
Pangeran Jagapati sebuah pertarungan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari uraian diatasdapat ditarik
kesimpulan bahwa mitos dan simbol sangat berkaitan erat dan memiliki nilai
kesakralan bagi komunitas Using. Simbol yang muncul dalam upacara Seblang
adalah simbol kebaikan dan simbol kejahatan. Terdapat pandangan dunia komunitas
Using bahwa dengan pergulatan antar dua sisi yang berlawanan mengukuhkan norma
– norma sebagai sumber tata nilai dan kaidah sosial yang dipandang mempunyai
peranan untuk menciptakan kerukunan hubungan dan keselarasan kehidupan sosial
dan masyarakatnya. Kebersamaan dan kesetaraan tersebut menciptakan realitas
struktur sosial yang bersifat horizontal (egaliter) dalam menyikapi berbagai
peristiwa. Dengan melihat fenomena – fenomena sosial-budaya masyarakat Using
menghasilkan pemahaman bagaimana yang “Asing” dalam upacara Seblang menjadi
milik sendiri dan tidak asing.
Ritus
Seblang merupakan sarana perantara untuk menemukan sebuah kepastian bagi
komunitas Using. Masyarakat pendukung menyikapi Seblang sebagai wadah untuk
menciptakan keharmonisan dan keseimbangan kehidupan sosial sebagaimana yang
terlihat selama ini sehingga terjalin lestarinya ekosistem manusia dengan
lingkungan alam. Ritus Seblang juga menunjukkan penanda identitas komunitas
Using. Berawal dari Seblang kemudian muncul identitas – identitas yang lain
seperti, wangsalan dan basanan, warung bathokan, dan gandrung. Identitas itu berada
dalam konteks pergumulan dengan kekuatan – kekuatan yang mengitarinya.
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://unibabwi13.blogspot.co.id/2014/10/makalah-seblang.html
HOBI JUDI BOLA, SABUNG AYAM, TOGEL, KASINO, GREENDRAGON DAN TEMBAK IKAN !!!
BalasHapusPROMO BONUS CASHBACK TERBESAR 10% DAN REFERAL 10%. Penasaran?? AYO JOIN SEKARANG!!!!
Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dengan Berbagai Macam Bonus Menarik Seperti:
-Bonus 10% untuk Member Baru
-Bonus Referal 10%
-Bonus CashBack Hingga 10%
Dengan Pelayanan Terbaik, Costumer Servis Yang Ramah Dan Profesional, Dan Siap Melayani Anda 24 Jam NonStop Setiap Hari.
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
WA : +6281377055002