Minggu, 12 Juni 2016

Makna “Tari Seblang” (Studi Deskriptif di Desa Olehsari dan Bakungan Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi) (makalah)




MAKNA “TARI SEBLANG”
( STUDI DESKRIPTIF DI DESA OLEHSARI DAN BAKUNGAN KECAMATAN GLAGAH KABUPATEN BANYUWANGI )

MAKALAH

Diselesaikan guna melengkapi tugas mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia




oleh


1. Siti Zulaikha M     (120910201073)
2. Faisalreza              (1209102010 14)
3. Indra Dwi A           (150910201003)
4. Nissa’ Dian K.S     (150910201010)
5. M. Arja Farah       (150910201012)

6. Devita Nurfitri A  (150910201013)
7. Woni Tri Marsi     (150910201020)
8. Ari Kerta Wijaya (150910201027)
9. Anita Lestari         (150910201041)
10. Wahyu Iqbal M   (150910201048)








JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Sistem Sosial Budaya Indonesia yang berjudul “Makna Tari Seblang”.
Untuk penyajian materi Sistem Sosial Budaya Indonesia , makalah ini dibuat untuk membantu pembaca supaya lebih memahami makna tari Seblang. Maka dengan itu, makalah ini ditulis dan disusun secara ringkas agar dapat mudah dipahami. Harapan penulis adalah bahwa makalah yang dibuat ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman, sehingga merasa puas dan tertarik untuk mengetahui tentang apa itu Integrasi.
Penulis sangat berterima kasih atas semua partisipasinya, dan tidak lupa penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna untuk memperbaiki makalah yang selanjutnya.


Jember, 20 Mei 2016

Penulis











BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
            Dalam peta geografi kebudayaan Banyuwangi, komunitas Using menempati wilayah tengah hingga ke arah Timur Banyuwangi. Mereka berdiam secara menyebar di Kecamatan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Singojuruh, Genteng, dan Srono. Dalam kenyataannya sekarang, terutama di dua kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk Non Using yang kebanyakan datang dari jawa kulon. Secara geografis, wilayah ini berada diujung timur pulau jawa dan berseberangan dengan Pulau Bali. Kondisi geografis tersebut ternyata menempatkan komunitas dan budaya Osing berada di paling pinggir Jawa dan Bali.
Sejumlah ahli antara lain, Scholte (1927); Stoppelaar (1927); Heru Santosa (1987); dan Wolbers (1992), menyebut bahwa komunitas Using terbentuk melalui proses sosial-politik yang cukup panjang, penuh dengan ketegangan konflik antara penduduk-penguasa di Banyuwangi disatu pihak dengan penduduk-penguasa Jawa bagian barat (wong kulonan) dan Bali dipihak lain. Secara historis, Banyuwangi merupakan pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari Majapahit, seperti yang tertera dalam berbagai babad berikut: Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Bbad Bayu, dan Babad Notodiningratan. Majapahit diakhir abad XV memberi kesempatan bagi  Blambangan untuk melepaskan diri dari kekuasaan manapun. Tetapi kerajaan – kerajaan yang muncul kemudian seperti Demak, Pasuruan, Mataram, dan Bali ternyata tetap menempatkan Blambangan sebagi daerah yang harus ditahklukan dan dikuasai. Bahkan Mataram bekerja sama dengan VOC, sempat menahklukan Blambangan pada tahun 1767. VOC yang masih menganggap Blambangan belum aman, melancarkan serangan berikutnya (1771-1772) yang memperoleh perlawanan keras dari Blambangan dibawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati sebuah pertarungan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.
Belanda tidak hanya berhasil memenangkan peperangan itu, karena tidak lama kemudian ia memboyong sejumlah tenaga kerja dari Cirebon, Banyumas, dan Kebumen untuk dipekerjakan di perkebunan – perkebunan milik Belanda yang ada dibumi Blambangan. Kehadiran tenaga kerja ini kemudian disusul oleh gelombang Migrasi dari jawa kulon untuk berbagi pekerjaan, khususnya dibidang perkebunan dan pertanian yang tampak membanjir sejak akhir abad XVIII atau awal abad XIX (Stoppelaar, 1927:6; Heru Santosa, 1987:14;84). Tidak hanya dari jawa bagian barat, migrasi serupa juga berdatangan Madura, Bali, Bugis dan Mandar sehingga sejak abad XIX Banyuwangi tidak lagi dihuni oleh komunitas Using yang homogen melainkan bercampur dengan berbagai pendatang. Jika pada akhir abad XIX penduduk Banyuwangi berjumlah 100.000 jiwa maka lebih dari separohnya diperkirakan berasal dari kaum Migran (Ali, 1993: 5).
              

1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan pokok dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :
1.     Apakah sebenarnya simbolisme dalam upacara seblang?
2.     Apa yang ingin dijelaskan oleh komunitas Using pada upacara seblang yang lahir saat terjadinya perebutan wacana ritus antara Jawa Kulon, Bali dan using sendiri?
1.3 Tujuan
            Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan upacara Seblang sebagai  event kultural. Dengan demikian, gejala yang ada diartikan sebagai kesatuan peristiwa-pelaku penafsiran sebuah komunitas melihat dan menafsirkan kehidupan sekitarnya kemudian menampilkannya dalam sebuah upacara. Sebagai siklus yang dianggap sakral oleh masyarakat Using, maka upacara seblang juga sarat dan simbol – simbol yang menyertainya. Unsur – unsur simbolis tersebut sering kali menjadi pandangan hidup masyarakatnya, selain itu bagaimana komunitas Using memandang, meyikapi, dan menyiasati himpitan dua kebudayaan Jawa dan Bali.
















BAB II
KAJIAN TEORI



2.1 Definisi Seblang
            Seblang adalah sebuat ritual tradisional khas suku Osing. Untuk lebih mudahnya biasa di sebut saja sebagai tarian Seblang, karena di beberapa aspek nya memperlihatkan tari-tarian untuk mengucap syukur dan tolak bala agar desa tetap aman dan tentram.
Ritual Seblang hanya akan dijumpai di dua desa di Banyuwangi yaitu desa Bakungan dan Olehsari, yang keduanya masuk dalam kecamatan Glagah.
Pelaksanaan tari Sablang berbeda antara desa Bakungan dan desa Olehsari. Untuk masyarakat di desa Olehsari diselenggarakan saat satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Untuk para penari yang akan membawakan tarian Seblang haruslah keturunan dari penari sebelumnya dan di pilih langsung oleh “dukun” setempat. Ketentuan di desa Olehsari, penari harus dalam usia sebelum akil balik, sedangkan di Bakungan penari haruslah wanita berusia 50 tahun keatas, atau yang telah Menopause.
Tari ini melambangkan kesakralan, ritual pertemuan dua dunia, sekaligus sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh sang Pencipta dan juga menjadi permohonan untuk tolak bala. Di arena tempat diadakannya ritual Seblang ini, ada pula amben, semacam meja kecil tempat menaruh boneka nini towok, bunga-bunga yang nantinya akan dijual pada penonton, hiasan dari janur, tebu, padi hingga sesajen.
Hiasan padi, tebu dan tanaman pangan lainnya adalah melambangkan kesuburan yang patut disyukuri. Sedangkan, boneka nini towok, dalam beberapa kepercayaan di Jawa, adalah merupakan simbol padi dan kesuburan. Di kanan-kiri amben, tampak duduk berjejer para pemangku adat dan juga master of ceremony. Ritual Seblang adalah salah satu ritual masyarakat Osing yang hanya dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan Olehsari. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram.
Penyelenggaraan tari Seblang di dua desa tersebut juga berbeda waktunya, di desa Olehsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa Olehsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid (menopause).
Tari Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat tua, hingga sulit dilacak asal usul dimulainya. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa Seblang pertama yang diketahui adalah Semi, yang juga menjadi pelopor tari Gandrung wanita pertama (meninggal tahun 1973). Setelah sembuh dari sakitnya, maka nazar ibunya (Mak Midah atau Mak Milah) pun harus dipenuhi, Semi akhirnya dijadikan Seblang dalam usia kanak-kanaknya hingga setelah menginjak remaja mulai menjadi penari Gandrung.
Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh sang dukun desa atau pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang berada dibelakangnya, sambil memegang tempeh (nampan bamboo). Sang dukun mengasapi sang penari dengan asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang penari kesurupan (taksadarkan diri atau kejiman dalam istilah lokal), dengan tanda jatuhnya tampah tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Penari seblang yang sudah kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Kadang juga berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari, kemudian si seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.
Musik pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul atau gong dan dua buah saron. Sedangkan di Olehsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal.       
Dari segi busana, penari Seblang di Olehsari dan Bakungan mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota.
Pada penari Seblang di desa Olehsari, omprok biasanya terbuat dari pelepah pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari, sedangkan bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil dari kebun atau area sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil yang ditaruh di bagian tengah omprok.
Pada penari Seblang wilayah Bakungan, omprok yang dipakai sangat menyerupai omprok yang dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari seblang di Olihsari. Disamping unsure mistik, ritual Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para pengunjung maupun warga setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh sang penari seblang ini.
Kajian ini diarahkan untuk memaknai ritus Seblang sebagai pertunjukan. Pertunjukan dianggap sebagai mode perilaku dan tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi dengan muatan sosial, budaya, dan estetis sebagai suatu aktifitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam ruang dan waktu tertentu (Bauman, 1992;41-47;Sutarto, 1997; 41-42). Untuk menafsirkan pertunjukan, perlu diketahui pula latar belakang masyarakat yang terlibat, baik mengenai sejarah, budaya, dan bahasa, selanjutnya seting pertunjukan harus dibatasi pada konteks ruang, budaya, dan sosial tertentu pula. Selain itu, juga memfokuskan pada deskripsi lengkap bentuk dan susunan, penggunaan bahasa, musik, gerakan – gerakan dan interaksinya, serta interaksi antara para pelaku dan penonton (Day, 1996;1).
Selain pertunjukan, untuk menafsirkan makna Seblang sebagai tindakan simboli, kajian ini memandang peristiwa ritus Seblang sebagai kesatuan peristiwa-pelaku-penafsiran. Kajian ini juga menggali nyanyian yang menyiratkan simbol – simbol dan ritus Seblang. Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji  simbol ritus Seblang adalah pendekatan yang disebut Turner sebagai Prosessual Symbology, yakni bagaimana simbol menggerakan tindakan sosial masyarakat dan melalui proses yang bagaimana simbol memperoleh dan memberikan arti kepada masyarakat dan pribadi (Lessa dan Vogt, 1979:91). Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada dinamika sosial, berbeda dengan kerangka analisis struktural yang statis, mapan, dan otonom karena tidak menggambarkan proses. Dengan pendekatan tersebut, dapat diamati bagaimana masyarakat menjalankan, melanggar dan memanipulasi norma – norma dan nilai – nilai yang diekspresikan oleh simbol untuk kepentingan kolektif dan pribadi (Turner, 1994:44). Hal ini mengingatkan bahwa simbol umumnya dihubungkan dengan keinginan – keinginan masyarakat, tujuan – tujuan dan maksud – maksud tertentu yang diucapkan secara eksplisit. Seperti halnya, apa yang hendak dijelaskan oleh komunitas Using dengan upacara Seblang adalah suatu yang berkaitan dengan persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi dan ekologi yang lebih luas.

















BAB III
PEMBAHASAN



3.1 Makna dalam Upacara Seblang
            Sebagai siklus yang dianggap sakral, upacara seblang sarat dengan simbol – simbol yang mengelilinginya. Hal ini terlihat dari ciri – ciri khas dalam pelaksanaannya, seperti: (1) waktu upacara harus merupakan waktu terpilih, (2) tempat penyelenggaraan upacara harus tempat terpilih, (3) orang yang diupacarakan harus dalam keadaan bersih secara  spiritual, (4) upacara harus dipimpin oleh orang terpilih, (5) sesaji merupakan syarat pelengkap utama yang tidak boleh ditinggalkan. Selain itu simbol – simbol dapat terlihat dari setiap tahapan yang harus dilalui pelaku Seblang selama upacara berlangsung. Simbol dirumuskan sebagai jenis simbol yang signifikan yang mengacu pada sesuatu secara langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan lagi dengan makna yang lain, yakni makna yang mendalam dan figuratif. Hal ini dapat terjadi apabila menembus pada makna yang pertama.
            Keberadaan simbol berperan penting dalam upacara Seblang. Pertunjukan ritual Seblang dimaksudkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menghadapi krisis di kehidupan sehari – hari. Melalui sistem simbol tersebut akan tampak rumusan pandangan – pandangan, abstraksi – abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat di indrai, perwujudan konkret dari gagasan, sikap, putusan atau keyakinan dan unsur – unsur simbolis tersebut merupakan implementasi dari perasaan, emosi, sekaligus tindakannya yang seringkali menjadi pandangan hidup masyarakatnya. Hal ini memperlihatkan terdapat hubungan erat antara ritus dengan kehidupan sehari – hari masyarakat Osing.
3.2 Penjelasan Komunitas Osing Pada Upacara Seblang yang Lahir Saat Terjadi Perebutan Wacana Ritus Antara Jawa Kulon, Bali dan Osing.
Sejumlah ahli antara lain, Scholte (1927); Stoppelaar (1927); Heru Santosa (1987); dan Wolbers (1992), menyebut bahwa komunitas Osing terbentuk melalui proses sosial-politik yang cukup panjang, penuh dengan ketegangan konflik antara penduduk-penguasa di Banyuwangi disatu pihak dengan penduduk-penguasa Jawa bagian barat (wong kulonan) dan Bali dipihak lain. Secara historis, Banyuwangi merupakan pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari Majapahit, seperti yang tertera dalam berbagai babad berikut: Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan. Majapahit diakhir abad XV memberi kesempatan bagi  Blambangan untuk melepaskan diri dari kekuasaan manapun. Tetapi kerajaan – kerajaan yang muncul kemudian seperti Demak, Pasuruan, Mataram, dan Bali ternyata tetap menempatkan Blambangan sebagi daerah yang harus ditahklukan dan dikuasai. Bahkan Mataram bekerja sama dengan VOC, sempat menahklukan Blambangan pada tahun 1767. VOC yang masih menganggap Blambangan belum aman, melancarkan serangan berikutnya (1771-1772) yang memperoleh perlawanan keras dari Blambangan dibawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati sebuah pertarungan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.






BAB IV
PENUTUP



4.1 Kesimpulan
            Dari uraian diatasdapat ditarik kesimpulan bahwa mitos dan simbol sangat berkaitan erat dan memiliki nilai kesakralan bagi komunitas Using. Simbol yang muncul dalam upacara Seblang adalah simbol kebaikan dan simbol kejahatan. Terdapat pandangan dunia komunitas Using bahwa dengan pergulatan antar dua sisi yang berlawanan mengukuhkan norma – norma sebagai sumber tata nilai dan kaidah sosial yang dipandang mempunyai peranan untuk menciptakan kerukunan hubungan dan keselarasan kehidupan sosial dan masyarakatnya. Kebersamaan dan kesetaraan tersebut menciptakan realitas struktur sosial yang bersifat horizontal (egaliter) dalam menyikapi berbagai peristiwa. Dengan melihat fenomena – fenomena sosial-budaya masyarakat Using menghasilkan pemahaman bagaimana yang “Asing” dalam upacara Seblang menjadi milik sendiri dan tidak asing.
Ritus Seblang merupakan sarana perantara untuk menemukan sebuah kepastian bagi komunitas Using. Masyarakat pendukung menyikapi Seblang sebagai wadah untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan kehidupan sosial sebagaimana yang terlihat selama ini sehingga terjalin lestarinya ekosistem manusia dengan lingkungan alam. Ritus Seblang juga menunjukkan penanda identitas komunitas Using. Berawal dari Seblang kemudian muncul identitas – identitas yang lain seperti, wangsalan dan basanan, warung bathokan, dan gandrung. Identitas itu berada dalam konteks pergumulan dengan kekuatan – kekuatan yang mengitarinya.
4.2 Saran











DAFTAR PUSTAKA
http://unibabwi13.blogspot.co.id/2014/10/makalah-seblang.html

1 komentar:

  1. HOBI JUDI BOLA, SABUNG AYAM, TOGEL, KASINO, GREENDRAGON DAN TEMBAK IKAN !!!
    PROMO BONUS CASHBACK TERBESAR 10% DAN REFERAL 10%. Penasaran?? AYO JOIN SEKARANG!!!!

    Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dengan Berbagai Macam Bonus Menarik Seperti:

    -Bonus 10% untuk Member Baru
    -Bonus Referal 10%
    -Bonus CashBack Hingga 10%
    Dengan Pelayanan Terbaik, Costumer Servis Yang Ramah Dan Profesional, Dan Siap Melayani Anda 24 Jam NonStop Setiap Hari.

    Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :

    WA : +6281377055002

    BalasHapus