Jumat, 10 Juni 2016

Implementasi Kebijakan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (Isu Kepegawaian dan Aparatur Sipil Negara) (makalah)

logo-unej.jpg


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA
 (ISU KEPEGAWAIAN DAN APARATUR SIPIL NEGARA)


MAKALAH




Oleh
Nadia Septiana Putri 140910201047





PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Kata Pengantar


Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH  SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah untuk matakuliah Kepemimpinan Administrasi yang menjelaskan tentang ISU KEPEGAWAIAN APARATUR SIPIL NEGARA.


Kami menyadari, walaupun kami telah bekerja keras untuk menyusun makalah ini, namun tidak akan mungkin menjadi lebih baik tanpa masukan pihak lain. Untuk itu kami mengharapkan kepada semua pihak agar memberikan berbagai masukan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah kami yang berisi arti penting implementasi kebijakan UU ASN.


Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:


  1. Dosen matakuliah Kepemimpinan Administrasi juga selaku dosen pembimbing kami dalam penyelesaian makalah ini.
  2. Teman-teman yang telah memberi kami masukan dalam menyelesaikan makalah ini.


Akhirnya, kami berharap semoga makalah Kepemimpinan Administrasi yang menjelaskan tentang implementasi kebijkan UU ASN, ini dapat menambah wawasan dan berguna bagi siapapun yang membacanya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya milik ALLAH SWT.


Jember, Desember 2015
BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang masalah
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, Impelemntasi kebijakan UU aparat sipil negara menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi, birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat  persatuan  dan  kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelaksanaan  manajemen  aparatur  sipil negara selama ini dirasakan belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Demi mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan sistem merit (merit system) dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil Negara. Oleh karena itu, kami tertarik untuk menganalisis tentang masalah serta kebijkan kepegawaian aparatur sipil negara.


1.2    Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah, diantaranya:

1.  Apakah yang dimaksud dengan implementasi publik dan aparat sipil negara?
2.   Bagaimana patologi birokrasi di indonesia?
3.  Bagaimana kebijakan yang harus dilakukan pemerintah dalam implementasi      UU tentang kepegawaian aparatur negara?

















BAB II PEMBAHASAN


2.1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK DAN APARATUR SIPIL NEGARA


A.  Implementasi Kebijakan Publik
Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat bahwa ada 3 (tiga) kata kunci yakni “formulasi, “implementasi”, dan “evaluasi”. Setelah sebuah kebijakan diformulasikan, langkah selanjutnya tentu saja mengimplementasikan kebijakan tersebut. Mengenai implementasi kebijakan, Nugroho (2003: 501) menyatakan, rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi.
Melihat bahwa implementasi merupakan tugas yang memakan sumber daya/ resources paling besar, maka tugas implementasi kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih. Terkadang dalam praktik proses kebijakan publik, terdapat pandangan bahwa implementasi akan bisa berjalan secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan. Nugroho (2003: 484) menyatakan implementation myopia yang sering terjadi di Indonesia salah satunya adalah “Selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah dibuat, implementasi akan “jalan dengan sendirinya”. Terkadang sumber daya sebagian besar dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya.
Dalam sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan pelaksanaan kebijakan tersebut hari demi hari sehingga menuju kinerja kebijakan. Implementasi tersebut dapat melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga sebuah kebijakan bisa menjadi rumit. Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya. Winarno (2004), menyebutkan beberapa teoritisi implementasi kebijakan yang menyebutkan berbagai macam variabel, di mana variabel-variabel tersebut dapat menjadi faktor pendukung (peluang) dan sekaligus pula menjadi penghambat (tantangan) dalam implementasi kebijakan. Pakar-pakar tersebut antara lain: George C. Edwards III, Donald Van Meter dan Carl Van Horn, Merilee S. Grindle, dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier.
Menurut Edwards III (1980: 9-11), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) variabel, yaitu (1) Komunikasi, (2) Sumber daya, (3) Disposisi, dan (4) Struktur birokrasi. Menurut Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2004) terdapat 5 (lima) variabel yang memengaruhi implementasi kebijakan yaitu:        (1) Standar dan sasaran kebijakan; (2) Sumberdaya; (3) Komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) Karakteristik agen pelaksana; dan    (5) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Menurut Merilee S. Grindle (Winarno, 2004), terdapat 2 (dua) variabel besar yang memengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Sedangkan, menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2003: 215), ada 3 (tiga) kelompok variabel yang memengaruhi implementasi: (1) Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem); (2) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasikan proses implementasi (ability of statute to structure implementation); dan (3) Variabel di luar kebijakan/ variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).


B.  Aparatur Sipil Negara (ASN)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai  pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas: 
(1) Kepastian hukum;
(2) Profesionalitas;
(3) Proporsionalitas;
(4) Keterpaduan;
(5) Delegasi;
(6) Netralitas;
(7) Akuntabilitas;
(8) Efektif dan efisien;           
    (9) Keterbukaan;
(10) Nondiskriminatif; (
(11) Persatuan dankesatuan;    
             (12) Keadilan dan kesetaraan; dan
(13) Kesejahteraan.
Pegawai ASN berfungsi, sebagai:
(1) Pelaksana kebijakan publik;            
 (2)Pelayan publik; dan
(3) Perekat dan pemersatu bangsa.
Yang bertugas:             
  1. Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina  Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;               
  2. Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan         
  3. Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.    Dengan peran sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan  kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.


Pegawai ASN memiliki hak dan kewajiban. Pegawai ASN berhak memperoleh: (1) Gaji, tunjangan, dan fasilitas; (2) Cuti; (3) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua; (4) Perlindungan; dan (5) Pengembangan kompetensi. Adapun kewajiban Pegawai ASN, adalah: (1) Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan  Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah; (2) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; (3) Melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; (4) Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; (5) Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,  kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; (6) Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; (7) Menyimpan rahasia jabatan dan hanya  dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (8) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


2.2 Melacak Gejala Patologi dalam Birokrasi
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.


Aparat birokrasi tidak dibenarkan melakukan partikularisme (korupsi, kolusi, nepotisme maupun primordialisme) dalam administrasi kepegawaian ataupun dalam menjalankan fungsinya sebagai public servant. Perekrutan pegawai yang sebelumnya didasarkan pada patronage system, spoil system dan nepotisme, sebaiknya segera diubah dengan merit system atau carier system, sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam birokrasi. Kontrak-kontrak kerja yang dibuat, apa pun jenisnya, harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel.
Kita seperti dihadapkan pada persoalan besar, mengapa masalah KKN sebagai manifestasi empiris gejala patologi (penyakit) birokrasi kian merebak. Padahal, dalam Sidang Tahunan 2002 lalu, MPR juga telah memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini. MPR telah memberikan rekomendasi kepada Presiden Megawati Soekarnoputri agar membangun kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab. Serta dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, dan teladan masyarakat.


2.3  KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA NOMOR 5 TAHUN 2014 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MANAJEMEN KEPEGAWAIAN


Undang-Undang ASN nomor 5 tahun 2014 merupakan salah satu peraturan yang menjadi titik tolak untuk berubahnya wajah birokrasi di Indonesia. Undang-undang inilah yang diharapkan akan memaksa birokrasi untuk merubah kondisinya yang selama ini sering dikeluhkan masyarakat karena birokrasi yang dianggap lamban, tambun dan berkinerja rendah. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dalam implementasinya belum mampu mejawab tantangan dan tuntutan yang dihadapi birokrasi selama ini. Reformasi birokrasi baru sebatas remunerasi dan belum pada perubahan mindset dan culture set birokrasi.
Sementara tantangan birokrasi saat ini cukup berat, tahun 2015 adalah tahun dilaksanakannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dengan kinerja birokrasi yang masih jauh di bawah Singapura, Malaysia dan Philipina serta hanya satu tingkat diatas Vietnam, perlu perubahan yang radikal dan cepat untuk terwujudnya birokrasi yang efektif efisien sehingga akan mendorong tercipatanya “Pemerintahan Kelas Dunia” seperti yang tercantum sebagai Visi Reformasi Birokrasi dalam Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Terwujudnya “Pemerintahan Kelas Dunia” ini tentu saja perlu dukungan dari semua elemen lembaga/kementrian dan tentu saja termasuk pemerintah daerah. Ada tiga sasaran dalam refromasi birokrasi yaitu 1) terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN, 2) terwujudnya peningkatan pelayanan public dan 3) meningkatnya kualitas dan akuntabilitas birokrasi. Perlu upaya keras serta komitmen yang kuat untuk melaksanakan itu semua dan UU ASN No.5 Tahun 2014 merupakan salah satu payung hukumnya.


Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 dibuat dengan suatu semangat atau spirit untuk merubah kondisi aparatur. Dalam UU ASN terdapat perubahan yang significant dan mendasar dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Tantangan baik local maupun global telah menuntut aparatur yang kompeten dan profesional sehingga UU ASN ini akan memaksa aparatur untuk bertransformasi dari comfort zone menuju competitive zone. Undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai masalah administrasi kepegawaian tetapi lebih kepada manajemen kepegawaian mulai dari proses rekruitmen, pendidikan dan pelatihan aparatur serta pembinaan dan pengembangan karir yang jelas.


Selain itu tidak akan ada lagi dikotomi PNS Pusat dan Daerah dalam UU ASN yang ada hanya PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Semuanya sama menjadi Aparatur Sipil Negara dan memiliki hak yang sama dalam pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta kesempatan yang sama dalam penjenjangan jabatan baik pusat maupun daerah. Dalam stuktur jabatan dan promosi jenjang karir pun terdapat perubahan.


Misalnya saja untuk Level Jabatan Pimpinan Tinggi dilakukan promosi terbuka(open career) bahkan ada jabatan-jabatan tertentu dapat diisi oleh mereka dari luar PNS. Sehingga PNS dituntut untuk memiliki kemampuan berkompetisi apalagi dalam UU ASN ini diberlakukan merit system, dimana dalam merit system yang dilihat adalah kompetensi, kualifikasi dan pada akhirnya kompetisi sehingga ini adalah saatnya aparatur untuk memiliki kesiapan dan kemampuan untuk berkompetisi.


Dalam Undang-Undang ASN dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN yang merupakan lembaga non structural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan pegawai ASN yang profesional, berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Tujuan dibentuknya KASN ini salah satunya adalah untuk menjamin terwujudnya Merit System dalam kebijakan manajemen ASN sedangkan fungsinya adalah mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode prilaku ASN, serta penerapan merit system dalam kebijakan dan manajemen asn pada Instansi Pemerintah. Sehingga dengan dibentuknya KASN ini jelas sekali merit system menjadi ruh dalam kebijakan dan manajemen ASN.


Namun demikian dalam implementasinya masih banyak PR untuk melaksanakan UU ASN ini. Peraturan-peraturan turunan dari undang-undang ini dalam waktu 2 (dua) tahun setelah ditetapkannya UU ASN harus sudah diselesaikan. Sembilan Peraturan Pemerintah, Dua Peraturan Presiden dan Tiga Keputusan Menteri inilah yang nantinya akan menjadi pedoman dalam implementasi UU ASN. Peraturan-peraturan ini akan menjadi salah satu factor kunci keberhasilan pelaksanaan UU ASN. Faktor yang kedua adalah komitmen dan kesiapan serta kemauan aparatur untuk merubah mindset dan culture set kinerjanya selama ini.


Faktor yang lain adalah ketersediaan infrastruktur bagi pelaksanaan UU ASN ini seperti ketersediaan lembaga diklat bagi setiap instansi baik pusat maupun daerah mengingat dalam UU ASN peningkatan kompetensi dalam hal ini pendidikan dan pelatihan aparatur adalah hak pegawai ASN sehingga kewajiban pemerintah lah untuk menyiapkan infrastruktur dan anggaran yang memadai untuk peningkatan kompetensi aparatur. Factor yang lainnya adalah sistem pembinaan dan evaluasi kinerja pegawai serta peningkatan kesejahteraan aparatur sesuai dengan tuntutan kinerjanya. Kemudian factor terakhir yang sangat penting adalah pemahaman yang memadai dari pimpinan lembaga, kementrian, pemerintah daerah serta pejabat lainnya tentang undang-undang ini sehingga akan mempermudah terlaksananya transformasi di institusi yang di pimpinnya.
Sejalan dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengatur mengenai manajemen kepegawaian, ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian, berikut kami uraikan disarikan dari berbagai sumber.


  1. Pengadaan PNS
Disebutkan dalam UU ASN bahwa setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud, dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun. Berdasarkan penetapan kebutuhan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) melakukan pengadaan PNS.


“Pengadaan PNS dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS,” bunyi Pasal 59 Ayat (3) UU ASN itu.
Ditegaskan dalam UU ini, Instansi Pemerintah yang melakukan pengadaan PNS harus mengumuman secara terbuka kepada masyarakat, dan setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan.
Mengenai materi seleksi dalam pengadaan PNS, Pasal 62 Ayat (2) UU ini menyebutkan, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang. Peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud diangkat menjadi calon PNS, yang ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian.
“Calon PNS wajib menjalami masa percobaan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertangung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang,” bunyi Pasal 63 Ayat (3,4) UU ASN ini.
Masa percobaan sebagaimana dimaksud bagi calon PNS dilaksanakan selama 1 (satu) tahun.
Dengan demikian, calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi persyaratan lulus pendidikan dan pelatihan; dan sehat jasmani dan rohani. “Calon PNS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud diberhentikan sebagai calon PNS,” bunyi Pasal 65 Ayat (3) UU ASN.


  1. Pengembangan Karier


PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan. Namun PNS juga dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja.


Selain itu, PNS juga dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). “PNS yang diangkat pada lingkungan TNI dan Polri, pangkat atau jabatannya disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan TNI dan Polri,” bunyi Pasal 68 Ayat (6) UU ASN.


UU ini juga menegaskan, bahwa setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi, antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus dan penataran. Pengembangan kompetensi juga bisa dilakukan dengan praktik kerja di instansi lain di pusat dan daerah dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, juga bisa dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta paling lama 1 (satu) tahun.


Terkait dengan pengembangan karier ini, UU ASN juga mengatur masalah promosi PNS, mutasi PNS, dan penilaian terhadap kinerja PNS.

  1. Gaji dan Usia Pensiun


Pasal 79 UU ASN menegaskan, pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS. Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada APBN, sedang gaji PNS yang bekerja pada pemerintah daerah dibebankan pada APBD.
Selain gaji, PNS juga menerima tunjangan dan fasilitas. Tunjangan sebagaimana dimaksud meliputi Tunjangan Kinerja (sesuai pencapaian kinerja) dan Tunjangan Kemahalan (berdasarkan indeks harga di daerah masing-masing).
Adapun PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghagaan, yang berbentuk Tanda Kehormatan; kenaikan pangkat istimewa, kesempatan prioritas pengembangan kompetens;, dan/atau kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan.


Mengenai pemberhentian, UU ASN menegaskan, PNS dapat diberhentikan dengan hormat karena: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri; c. mencapai batas usia pensiun; d.perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pension dini; dan e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Selain itu, PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.


PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD  1945; b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap  karena melakukan tindak kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum; c. menjadi anggota/pengurus partai politik; dan d. dihukum penjara paling singkat 2 (dua) tahun karena melakukan tindak pidana berencana.


Adapun Batas Usia Pensiun (BUP), menurut Pasal 90 UU ASN adalah: 58 tahun bagi Pejabat Administrasi; b. 60 tahun bagi pejabat Pejabat Pimpinan Tinggi; dan c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan bagi Pejabat Fungsional.
“PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua sesuai dengan ketentuan  [peraturan perundang-unangan,” bunyi Pasal 91 Ayat (1) UU ASN ini.
Terkait masalah penggajian, mengutip pernyataan dari Eko Prasojo, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menyatakan :
“gaji pegawai negeri sipil tidak akan lagi dipukul rata. Mereka akan digaji sesuai dengan kinerjanya. Semakin baik pencapaian kerjanya, maka gajinya akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya. Pertimbangan lain dalam sistem penggajian yang baru adalah beban, risiko, dan tanggung jawab kerja. “Dasarnya bukan basis eselon lagi,” kata Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo di kantornya. Kinerja PNS juga akan mempengaruhi bonus tahunan yang diterima. Namun, untuk menyesuaikan kebijakan ini, akan ada penyesuaian jumlah gaji untuk PNS.
Gaji pokok PNS akan dinaikkan, tapi honor lain dan biaya perjalanan dinas akan dikurangi. “Jadi, nanti PNS enggak sibuk cari sana-sini lagi,” kata Eko. Menurut Eko, PNS kerap protes karena gaji pokoknya kecil dan sibuk menjadi pembicara di seminar-seminar untuk memperoleh honor tambahan.
Sistem penggajian ini akan berlaku dua tahun setelah RUU Aparatur Sipil Negara disahkan. Pemerintah menargetkan pengesahan rancangan undang-undang tersebut pada Januari 2014 mendatang.


“Efektifnya dua tahun setelah itu, karena kami harus selesaikan 17 PP-nya,” kata Eko. Namun, jika 17 peraturan tersebut dapat selesai sebelum dua tahun, maka sistem penggajian baru ini dapat diterapkan lebih awal. Selain untuk memperbaiki kinerja, pemerintah berharap sistem pengganjian ini dapat mengefisiensi anggaran untuk gaji.”
  1. Kelembagaan


Dari sisi kelembagaan, UU ASN ini menegaskan, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN. Dalam penyelenggaraan kekuasaannya, Presiden dibantu oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Lembaga Administrasi Negara (LAN), BKN, dan lembaga baru yang dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Mengenai KASN, menurut UU ini merupakan lembaga mandiri yang bebas dari intervensi politik yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Tinggi dan mengawasi serta mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
Khusus mengenai Batas Usia Pensiun (BUP), sesuai UU ASN ini, batas usia pensiun bagi Pejabat Administrasi adalah 58 tahun, dan bagi Pejabat Pimpinan Tinggi 60 tahun dan bagi Pejabat Fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi masing-masing Pejabat Fungsional.
Substansi pokok lainnya berisi mengenai Hak dan Kewajiban Pegawai ASN, Manajemen Pegawai ASN, Pada Bab Organisasi diatur mengenai  pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps pegawai ASN RI, Sistem Informasi ASN, dan Penyelesaian Sengketa.




KESIMPULAN DAN SARAN


Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 merupakan legal base yang harus kita pahami bersama sebagai semangat “berhijrah” menuju arah yang lebih baik. Undang-undang inilah yang diharapkan akan memaksa birokrasi untuk merubah kondisinya yang selama ini sering dikeluhkan masyarakat karena birokrasi yang dianggap lamban, tambun dan berkinerja rendah. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dalam implementasinya belum mampu mejawab tantangan dan tuntutan yang dihadapi birokrasi selama ini. Reformasi birokrasi baru sebatas remunerasi dan belum pada perubahan mindset dan culture set birokrasi.
Peraturan-peraturan pendukungnya sedang disiapkan dan kini tinggal giliran setiap instansi pemerintah dan kita setiap PNS untuk bersiap diri mensukseskan implementasi Undang-Undang ASN ini. Sumber daya aparatur yang kompeten dan profesional merupakan bagian kecil dari area perubahan yang dicanangkan dalam agenda Reformasi Birokrasi akan tetapi urgensinya terhadap pencapaian sasaran Reformasi Birokrasi menjadi suatu keniscayaan. Tanpa aparatur yang kompeten, profesional dan siap berkompetisi mustahil reformasi birokrasi dapat dilaksanakan. Dan sekali lagi yang perlu digaris bawahi adalah perubahan mindset dan culture set serta transformasi aparatur demi keberhasilan pelaksanaan Undang-undang ini yang akan bermuara kepada keberhasilan Reformasi Birokrasi secara menyeluruh dan tercapainya cita-cita besar “Pemerintahan Kelas Dunia”. Semoga saja….


DAFTAR PUSTAKA


Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo. Jakarta.
Siagian, SP, 1994, Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi Dan Terapinya, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Steinberg, Sheldon.S dan Austern, David T, Government, Ethics And Managers : Penyelewengan Aparat Pemerintahan, Bandung, Remaja Rosda Karya.
Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta: Elex Media Komputindo.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara


Winarno, B. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar