Jumat, 10 Juni 2016

Kepemimpinan Kontingensi dan Kepemimpinan Situasional (makalah)

logo-unej.jpg


KEPEMIMPINAN
KONTINGENSI DAN KEPEMIMPINAN SITUASIONAL


MAKALAH




Oleh


Nadia Septiana Putri 140910201047






PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Kata Pengantar


Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH  SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah untuk matakuliah Kepemimpinan Administrasi yang menjelaskan tentang pengaruh teori Situasional dan teori Kontingensi terhadap gaya kepemimpinan organisasi.


Kami menyadari, walaupun kami telah bekerja keras untuk menyusun Makalah ini, namun tidak akan mungkin menjadi lebih baik tanpa masukan pihak lain. Untuk itu kami mengharapkan kepada semua pihak agar memberikan berbagai masukan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah kami yang berisi arti penting kepemimpinan dalam organisasi.


Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:


  1. Dosen matakuliah Kepemimpinan Administrasi juga selaku dosen pembimbing kami dalam penyelesaian makalah ini.
  2. Teman-teman yang telah memberi kami masukan dalam menyelesaikan makalah ini.


Akhirnya, kami berharap semoga makalah Kepemimpinan Administrasi yang menjelaskan tentang pengaruh teori Situasional dan teori Kontingensi terhadap gaya kepemimpinan organisasi, ini dapat menambah wawasan dan berguna bagi siapapun yang membacanya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya milik ALLAH SWT.




Jember, November 2015





BAB 1 PENDAHULUAN


    1. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan manusia diciptakan untuk menjadi seorang pemimpin didunia. Didalam kehidupan nyata, manusia harus selalu berinteraksi dan beradaptasi dengan sesama maupun dengan lingkungan.Karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirisehingga manusia harus hidup berkelompok, baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hal itu ditujukan agar manusia dapat bersosisalisasi dengan sesamanya manupun lingkungannya.
Oleh sebab itu diantara para anggota kelompok tentulah membutuhkan seseorang  yang bisa memimpin kelompok itu, sebab jika tidak ada pemimpin maka akan terpecah belah lah kelompok tersebut. Untuk mengelolanya, diperlukan pemimpin yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik serta dapat menjadi panutan untuk anggota kelompoknya.
Pemimpin adalah  figur seseorang yang bijaksana, berani mengambil keputusan dan yang paling penting berwibawa dan bisa memimpin untuk mencapai tujuan bersama. Sekarang  ini, sudah sangat sedikit orang yang mempunyai ciri-ciri seorang pemimpin yang baik didalam organisasi maupun badan-bandan usaha, bisnis, dan pemerintahan. Untuk itu maka sangat penting bagi para remaja-remaja mulai membiasakan diri untuk belajar menjadi seorang pemimpin yang berani dan bisa memberikan arahan yang baik  didalam organisasi. Salah satunya memberikan pendidikan atau pembelajaran tentang pentingnya kepemimpinan didalam organisasi.
Dalam proses kepemimpinan sangat dibutuhkan model atau gaya dalam memipimpin. Model dan gaya kepemimpinan tersebut tertuang pada teori maka dari itu, kami sebagai penulis tertarik untuk lebih memahami  teori dan gaya kepemimpinan, dimana teori ini saling terkait satu sama lain. Semoga makalah ini dapat membantu pmasyarakat umum dan khusnya kami (mahasiswa FISIP) dalam memahami dan memilih teori dan gaya kepemimpinan seperti apa yang akan diterapkan nantinya, agar tercapainya tujuan bersama, baik dalam sebuah kelompok ataupun organisasi.


    1. Rumusan Masalah


  1. Apakah teori kontingensi dan teori situasional dalam kepemimpinan?
  2. Bagaimana Pengaruh bagi kinerja organisasi apabila teori kontingensi dan situasional diterapkan dalam proses kepemimpinan?
  3. Apa yang dilakukan pemimpin untuk mempengaruhi kinerja dan kepuasan dalam organisasi?









BAB 2 KAJIAN PUSTAKA


2.1 Kajian Teoritis Teori Kepemimpinan


Menurut Pavlop Kepemimpinan memainkan peran penting dalam pelaksanaan perubahan yang melibatkan dua aspek penting, yaitu  perubahan dan orang “change and people”.  Mengubah organisasi sesusungguhnya adalah berkenaan dengan merubah  perilaku orang, sehingga organisasi dalam melaksanakan perubahan  membutuhkan Pemimpin, yang  dapat membantu menyebar dan mempertahankan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk reformasi sektor publik. Tetapi mengelola dan memimpin adalah dua fungsi yang berbeda yang memerlukan sejumlah keterampilan yang berbeda, yang  saling melengkapi, tidak dapat dipisahkan (Pavlop et all, 2001). Oleh karena itu tentu diperlukan pencermatan bagi seorang pemimpin dalam menyikapi perubahan, lebih-lebih pada era gloablisasi dan dimensi perubahan lingkungan saat ini, yang tidak mudah diprediksi. Berbagai teori dan gaya kepemimpinan dapat dipilih disesuaikan dengan kondisi dan situasi, serta bakat yang dimiliki oleh seorang pemimpin.
     Teori Kontingensi, teori Ini adalah penyempurnaan dari sudut pandang situasional yang terfokus pada identifikasi variabel-variabel situasional yang paling memprediksi gaya kepemimpinan yang paling tepat atau efektif agar sesuai dengan keadaan tertentu. Penekanan para pemimpin situasional berkaitan  dengan  kinerja dan variabel pengikut.  Pergeseran dari sifat-sifat dan keterampilan untuk perilaku (misalnya, tingkat energi dan keterampilan komunikasi, klarifikasi peran dan motivasi staf). Era ini banyak dipengaruhi oleh munculnya Teori Hubungan Manusia, dan Ilmu Perilaku.


Premis teori kontingensi bahwa kepemimpinan optimal dicapai hanya dengan sintesis persyaratan situasi dengan pemimpin, baik oleh pemimpin yang cocok dengan situasi, atau dengan pencocokan perilaku pemimpin dengan situasi. Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku pemimpin dapat disesuaikan dengan situasi, dan oleh karena itu, teori ini memiliki potensi yang kuat untuk mengembangkan dan meningkatkan kepemimpinan (Pinto, Jeffrey K. Et all, 1998). Interaksi antara berbagai jenis perilaku kepemimpinan (misalnya berorientasi tugas dan sosio-emosional kepemimpinan) mungkin lebih berkaitan dengan bagaimana mereka digabungkan dibandingkan dengan frekuensi atau intensitasnya. Sebuah alternatif konsepsional dari interaksi, pendekatan interaksi dalam jangka panjang menghadirkan “efek kepemimpinan berorientasi tugas dan sosio-emosional kepemimpinan, tergantung pada bagaimana hal tersebut digabungkan". Mengkombinasikan aspek faktor-faktor gaya kepemimpinan secara sekuensi  dan  temporal dari perilaku kepemimpinan, cara ini dapat mempengaruhi taktik kepemimpinan dalam mencapai efektivitasnya.


2.2 TEORI KEPEMIMPINAN
A. Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
           Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin. Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
           Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions). Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok:
1.      supportive leadership : menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat,
2.      directive leadership : mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada,
3.      participative leadership : konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan
4.      achievement-oriented leadership : menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan.


B.   Model Vroom and Yetton
      Model kepemimpinan ini, yang dikembangkan oleh Victor Vroom dan Philip Yetton menghubungkan perilaku kepempinan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Karena struktur tugas itu memiliki berbagai tuntutan untuk aktifitas-aktifitas rutin dan bukan rutin, perilaku seorang pemimpin seharusnya bisa disesuaikan dengan atau mereflesikan struktur tugas tersebut. Model yang sebaiknya diikuti untuk menetapkan bentuk dan banyaknya partisipasi yang diinginkan dalam pengambilan keputusan seperti yang dituntut oleh berbagai situasi yang berbeda. Model ini juga mengasumsikan bahwa salah satu dari gaya kepemimpinan dibawah ini palin sesuai dengan situasi yang dihadapi:
• Otokratik I (AI) : Mengatasi problem atau mengambil keputusan sendiri menggunakan informasi yang tersedia pada saat ini.
• Otokratik II (AII) : Mmemperoleh informasi yang diperlukan dari para bawahan dan kemudian menetapkan pemecahan maslah sendiri.
• Konsultatif I (KI) : Mendiskusikan masalah dengan para bawahan yang terkait secara individua lmemperoleh ide dan saran-saran dari mereka, tanpa membawa mereka dalam satu kelompok.
• Konsultatif II (KII) : Mendiskusikan masalah dengan para bawahan sebagai kelompok, memperoleh ide dan saran secara kolektif.
• Group II (GII) : Mendiskusikan masalah dengan para bawahan sebagain kelompok
Model kepemompinan ini dapat dibuatkan diagram dimana perilaku kepemimpinan tertentu disesuaikan dengan situasi tertentu pula.
C.   Model Path-Goal
      Salah satu pendekatan tentang kepemimpinan yang memperoleh penghargaan adalah teori jalan mencapai tujuan ( Path-Goal Theory ) dikembangkan oleh House (1971) teori ini merupakan sebuah model kepemimpinan yang bersifat kontingensi. Penekanan teori ini adalah bahwa menjadi pekerjaan pemimpin untuk membantu para pengikut/bawahanya untuk mencapai tujuan mereka dan memberikan arahan dan dorongan yang diperlukan untuk meyakinkan tujuan mereka tidak bertentangan dengan objektif kelompok atau organisasinya.
Istilah path-goal disini dikembangkan dari sebuah kepercayaan bahwa pemimpin yang efektif selalu melicinkan jalan untuk membantu paara bawahan memperoleh sesuatu, mulai dari mereka dari sekarang sampai dengan pencapaian tujuan kerja, dan membut perjalanan mereka itu lebih mudah dengan mengurangi berbagai sandungan dan hambatan.
Menurut teori ini, perilaku seorang pemimpin bisa diterima oleh bawahan sejauh perilaku tersebut dipandang oleh mereka sebagai sumber kepuasan segera atau sebagi cara untuk mencapai kepuasan dimasa depan. jadi perilaku seorang pemimpin itu bersifat motivasional sejauh perilku tersebut memenuhi kriteria berikut:
a. Dapat memberikan kepuasan kepada bawahan terhadap kebutuhan-kebutuhanya seirama dengan kinerjanya yang efektif
b.Dapat memberikan pelatihan, bimbingan, dorongan, dan penghargaan yang diperlukan untuk kinerja yang efektif.
 Teori ini juga mengajukan dua kelas variabel situasional atau kontingensi yang dapat mempengaruhi hubungan antara perilaku kepemimpinan dan kepemimpinanya yaitu faktor yang kontingensi lingkungan dan kontingensi bawahan.teori ini mengusulkan bahwa perilaku seorang pemimpin dapat menjadi inefektif jika bersifat berlebihan terhadap sumber-sumber struktur lingkungan atau tidak sejalan denag karakteristik pribadi bawahan.
Dibawah ini diberikan bebrapa contoh hipotesis yang berhubungan dengan teori jalan mencapai tujuan:
1. Makin jelas hubungan kewenangan formal atau makin birokratis, para pemimpin makin dianjurkan untuk memperlihatkan perilaku suportif dan tidak menekanakan pada perilaku direktif.
2. Para bawahan yang pusat kontrol pribadinya bersifat eksternal akan lebih merasa puas dengan gaya kepemimpinan direktif.
3. Kepemimpinan direktif bisa menuju pada kepuasan yang lebih besar jika tugas-tugas yang dihadapu bawahan itu lebih membingungkan atau banyak stress daripada kalau tugas-tugas tersebut sudah terstruktur atau sudah jelas.
Menurut Wahjosumidjo (1987:219) pada dasarnya tidak ada pemimpin yang baik yang ada adalah pemimpin yang efektif, yaitu pemimpin yang selalu berubah-ubah perilakunya sesuai dengan tingkat perkembangan kedewasaan bawahannya. Oleh karena itu, seorang pemimpin dapat berperilaku efektif, akan lebih cocok apabila pemimpin itu dapat menerapkan ajaran teori kepemimpinan situasi. Dan teori kepemimpinan situasi sendiri pada hakikatnya merupakan teori yang dikembangkan dari teori kepemimpinan perilaku. Sedang teori kepemimpinan perilaku berdasarkan perkembangannya bersumber pada ajaran-ajaran yang dihasilkan oleh teori kepemimpinan sifat.

BAB 3 PEMBAHASAN


3.1 PENGERTIAN TEORI PENDEKATAN SITUASIONAL DAN TEORI PENDEKATAN KONTINGENSI
  • Teori Situsional
Dalam teori pendekatan situasional, kepemimpinan yang efektif adalah bagaimana seorang pemimpin dapat mengetahui keadaan baik kemampuan ataupun sifat dari anak buah yang di pimpinnya untuk kemudian pemimpin dapat menentukan perintah atau sikap terhadap anak buah sesuai dengan keadaan atau pun kemampuan anak buahnya. Tingkat kematangan atau kemapuan anak buah ada empat macam yaitu:
·         intruksi,
·         konsultasi,
·         delegasi
·         dan partisipasi.
Adapun gaya yang tepat di terapkan dalam keempat tingkat kematanga anak buah seperti yang telah di jelaskan oleh Miftah Thoha dalam bukunya Kepemimpinan dalam Manajemen adalah sebagai berikut: Instruksi yaitu perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan dirujuk sebagai instruksi karena gaya ini dicirikan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin memberikan batasan peranan pengikutnya dan memberitahu mereka tentang apa, bagaimana, bilamana, dan dimana melaksankana berbagai tugas. Inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan diumumkan, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh pemimpin.


Konsultasi yaitu perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan dirujuk sebagai konsultasi, karena dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan banyaknya komunikasi dua arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Meskipun dukungan ditingkatkan, pengendalian (control) atas pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.
Partisipasi yaitu perilaku pemimpin yang tinggi dukunagn dan rendah pengarahan dirujuk sebagai partisipasi, karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian. Dengan penggunaan gaya 3 ini, pemimpin dan pengikut saling tukar menukar ide dalam pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan, peran pemimpin adalah secara aktif mendengar. Tanggung jawab pemecahan masalah dan pembuatan keputusan sebagian besar berada pada pihak pengikut. Hal ini sudah sewajarnya karena pengikut memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas.


Delegasi yaitu perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai delegasi, karena pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang kemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan. Sekarang bawahanlah yang memiliki kontrol untuk memutuskan tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melaksanakan pertunjukan mereka sendiri karena mereka memiliki kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggung jawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang efektif adalah pemimpin yanng dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan tingkat kematangan anak buahnya. Hubungan antara gaya kepemimpinan dan tingkat kematangan anak buah adalah sebagai berikut: Jika anak buah dalam kematangan yang rendah maka gaya kepemimpinan yang efektif adalan instruksi. Jika kematangan anak buah sedanng bergerak dari rendah kesedang maka gaya kepemimpinan yang efektif adalah konsultasi. Jika tingkat kematangan anak buah dari sedang ke tinggi maka gaya kepemimpinan yanng efektif adalah partisipasi. Dan jika kematangan anak buah adalah tinggi maka gaya kepemimpinan yanng efektif adalah delegasi.


  • Teori Kontigensi (Contingency)
             Pendekatan Situasional Contingency menggambarkan bahwa gaya yang digunakan adalah bergantung pada faktor – faktor seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variable lingkaran lainnya. Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan menurut Mary Parker Follet yang menggambarkan hukum situasi menyatakan bahwa ada 3 variable yang mempengaruhi para pemimpin, yaitu :
1.  Pemimpin
2.  Pengikut atau bawahan
3.  Situasi


   Pemimpimpin yang memiliki kekuasaan yang jelas (kuat) dari organisasi akan lebih mendapatkan kepatuhan dari bawahannya.
   Struktur Tugas (Task Structure), Kejelasan tugas dan tanggung jawab setiap orang dalam organisasi. Apabila tatanan tugas cukup jelas, maka prestasi setiap orang yang ada dalam organisasi lebih mudah dikiontrol dan tanggung jawab setiap orang lebih pasti.

Berdasarkan tiga dimensi variabel situasional tersebut, maka ada dua gaya kepemimpinan menurut Fielder, yaitu :
1.           Gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas (task oriented), dan
2.      Gaya kepemimpinan yang mengutamakan hubungan dengan bawahan (Human       relations).
Teori contijensi dari Fielder mengatakan bahwa efektivitas suatu kelompok atau organisasi tergatung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan sutuasi.
Situasi dirumuskan dengan dua karasteristik, yaitu : situasi yang sangat menyenangkan (menguntungkan) dan situasi yang sangat tidak menyenangkan (tidak menguntungkan).


1.    Situasi sangat menyenangkan (menguntungkan), adalah situasi dimana pemimpin     menguasai, mengendalikan dan mempengaruhi situasi.
2.   Situasi sangat tidak menyenangkan (tidak menguntungkan), adalah situasi yang    dihadapi oleh manajer dengan ketidak pastian.


3. 2    Teori-Teori Pendekatan Kontingensi dan situasional bila diterapkan dalam kepemimpinan.


  1. Model Kontingensi Fiedler
Fred E. Fiedler mengembangkan penelitian dan mengutip model kontingensi lebih dari empat puluh tahun yang lalu, yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan terbaik ditentukan  oleh situasi di mana pemimpin bekerja. Di sini kita meneliti bagaimana gaya dan situasi dievaluasi, dihubungkan dengan teori, dan bagaimana para pemimpin dapat
memodifikasi situasi untuk keuntungan mereka. Pokok teori Fiedler berfokus pada “apakah seorang pemimpin menekankan pada gaya orientasi hubungan atau tugas?”


a. Penentuan Situasi Kepemimpinan
Untuk menentukan apakah seorang pemimpin berorientasi pada tugas atau hubungan, teori ini mengklasifikasikan 3 situasi yaitu, kontrol kuat, kontrol sedang dan kontrol lemah. 3 klasifikasi situasi tersebut berkaitan dengan 3 dimensi yaitu :
1.        Kualitas hubungan pemimpin - bawahan
2.        Struktur tugas, yaitu apakah tugas yang dikerjakan bawahan terdefinisi, melibatkan prosedur yang spesifik, jelas, mempunyai tujuan pasti
3.        Kedudukan kekuasaan, berhubungan dengan apakah pemimpin memiliki wewenang formal yang kuat pada bawahan.


Dari penjelasan teori diatas dapat ditemukan , tabel seperti dibawah ini. 


C:\Users\axioo\Music\Documents\nadia\tabel.png
Teori menyatakan bahwa, pemimpin berorientasi tugas, bisa bekerja secara baik dalam situasi kontrol yang tinggi dan kontrol yang rendah. Pemimpin berorientasi hubungan bisa bekerja secara baik dalam situasi kontrol sedang. Pemimpin yang berorientasi tugas melakukan lebih baik dalam situasi yang bisa dikontrol dan sangat menguntungkan, karena mereka tidak perlu khawatir dengan tugas. Sebaliknya, mereka dapat menekankan pada hubungan. Dalam situasi sedang , pemimpin yang berorientasi hubungan mencapai produktivitas kelompok yang lebih tinggi, karena ia dapat bekerja pada hubungan, bukan terlibat dalam overmanaging. Dalam situasi yang sangat rendah-kontrol, pemimpin yang berorientasi tugas mampu menyusun dan masuk akal dari kebingungan.


b. Membuat situasi menjadi lebih menguntungkan bagi Pemimpin
Implikasi dan praktek dari teori kontingensi ialah , bagaimana pemimpin membuat situasi menjadi lebih menguntungkan pada dirinya, sehingga gaya kepemimpinannya menjadi lebih efektif. Agar bisa mengontrol situasi dengan baik , pemimpin harus bisa melakukan beberapa hal yaitu :
-          Meningkatkan hubungan antara pemimpin dan bawahan.
-          Meningkatkan struktur tugas
seperti memperjelas perintah dan arahan, memberi deadline, menunjukan contoh pekerjaan yang baik seperti apa , dan petunjuk tertulis.
-          Menunjukan kekuatan atau power sebagai seorang pemimpin
dengan eminta bantuan kepada atasan agar diberi wewenang lebih , sehingga para manajer, memiliki power agar bawahan tahu manfaat jika bekerja secara baik dan konsekuensinya jika bekerja secara buruk.
2.    Path-Goal Theory
I.    Teori Path-Goal dalam Efektivitas Kepemimpinan
Teori Path-Goal dalam Efektivitas Kepemimpinan, seperti yang dikembangkan oleh Robert House, menentukan apa yang seorang pemimpin harus lakukan untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan semangat dalam situasi tertentu. Secara umum, seorang pemimpin mencoba untuk memperjelas jalan menuju tujuan untuk anggota kelompok sehingga ia menerima timbal baliknya. Pada saat yang sama, kepuasan kerja dan kinerja anggota kelompok ini meningkat. Seperti teori harapan motivasi, yang didasarkan, teori path-goal yang beragam dan memiliki beberapa versi.Fitur utamanya dirangkum dalam Gambar di bawah ini.
C:\Users\axioo\Music\Documents\nadia\path g.png
Gambar :The Path-Goal Theory of Leadership
Teorinya begitu kompleks sehingga akan sangat membantu untuk mengambil gambaran sebelum mempelajari lebih detail. Proposisi utama teori path-goal adalah bahwa manajer harus memilih gaya kepemimpinan dengan memperhitungkan karakteristik anggota kelompok dan tuntutan tugas. Selanjutnya, di awal struktur akan menjadi efektif dalam situasi struktur tugas bawahan yang rendah, tetapi tidak efektif dalam situasi tugas yang sangat terstruktur. Alasannya adalah bahwa dalam situasi pertama, bawahan mulai menyambut struktur karena membantu untuk menyediakan struktur dengan tugas yang agak ambigu mereka.Bukan hanya memukul-mukul sekitar, pemimpin memberikan panduan.Dalam situasi tugas yang sangat terstruktur, mendatang lebih struktural dipandang sebagai perlu dan terkait dengan pengawasan terlalu dekat.
Dalam perumusan ulang teori path-goal, House menawarkan meta-proposisi. Secara singkat, meta-proposisi ini yaitu: Bagi para pemimpin yang ingin menjadi efektif, mereka harus dapat mengkolaborasikan antara perilaku bawahan baik itu lingkungan maupun kemampuannya. Mereka harus terlibat dalam perilaku ini dengan cara yang mengkompensasi kekurangan, dan yang meningkatkan performa dan kepuasan bawahan. Sebagai contoh, jika pemilik suatu coffee shop menemukan bahwa salah satu pekerjanya takut kehilangan pekerjaannya karena persaingan Starbucks, dia akan memberinya banyak dorongan dan menjelaskan rencana kelangsungan hidup coffee shop-nya secara rinci kepada si pekerja tersebut.
Dua aspek kunci dari teori ini akan dibahas: mencocokan gaya kepemimpinan dengan situasi dan langkah yang dapat dilakukan pemimpin untuk mempengaruhi kinerja dan kepuasan.


II.       Mencocokan Gaya Kepemimpinan dengan Situasi
Teori path-goal menekankan bahwa pemimpin harus memilih di antara empat gaya kepemimpinan untuk mencapai hasil yang optimal dalam situasi tertentu. Dua set penting dari faktor kontingensi jenis bawahan dan tugas yang mereka lakukan (faktor lingkungan utama). Jenis bawahan ditentukan oleh berapa banyak kendali yang mereka pikir mereka memiliki lebih dari lingkungan (locus of control) dan seberapa baik mereka berpikir mereka bisa melakukan tugas yang diberikan.
Faktor kontingensi lingkungan adalah apa saja yang tidak berada dalam kontrol anggota kelompok tetapi mempengaruhi kepuasan dan penyelesaian tugas. Tiga klasifikasi luas dari faktor kontingensi di lingkungan adalah (1) tugas anggota kelompok , (2) sistem otoritas dalam organisasi, dan (3) kelompok kerja.
Untuk menggunakan teori path-goal, pemimpin awalnya harus menilai variabel yang relevan di lingkungan. Kemudian memilih salah satu dari empat gaya yang tercantum dibawah ini yang sesuai dengan faktor kontingensi terbaik:
1. Directive Style.Pemimpin yang direktif menekankan kegiatan formal seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian. Ketika tugas tidak jelas, gaya direktif meningkatkan semangat (morale).
2. Supportive Style.Pemimpin yang suportif menampilkan kepedulian terhadap anggota kelompok dan menciptakan iklim emosional mendukung.Dia meningkatkan semangat ketika anggota kelompok bekerja pada tugas-tugas tidak memuaskan, stres, atau frustasi. Anggota kelompok yang tidak yakin pada diri mereka lebih memilih gaya kepemimpinan suportif.
3. Particpative Style.Pemimpin yang partisipatif berkonsultasi dengan anggota kelompok untuk mengumpulkan saran-saran mereka, dan kemudian menganggap saran ini serius ketika membuat keputusan.Pemimpin partisipatif paling cocok untuk meningkatkan moral karyawan yang termotivasi yang melakukan tugas-tugas non-repetitive.
4. Achievement-oriented style. Pemimpin yang berorientasi prestasi dan menciptakan tujuan yang menantang, mendorong untuk perbaikan kerja, dan menetapkan harapan yang tinggi untuk anggota tim, yang juga diharapkan untuk memikul tanggung jawab. Gaya kepemimpinan ini bekerja dengan baik dengan anggota tim yang berorientasi pada prestasi dan dengan mereka yang bekerja pada tugas-tugas.
Seorang pemimpin kadang-kadang dapat berhasil menggabungkan lebih dari satu dari empat gaya kepemimpinan diatas, meskipun kemungkinan ini tidak ditentukan dalam teori path-goal. Sebagai contoh, selama krisis, seperti penarikan kembali produk utama, manajer pemasaran mungkin perlu direktif untuk membantu kelompok mengambil tindakan cepat. Setelah tindakan darurat awal telah diambil, pemimpin, mengakui bagaimana menekankan para pekerja harus, mungkin beralih ke gaya yang suportif.


3.3   Langkah Langkah yang Dapat Dilakukan Pemimpin Untuk Mempengaruhi Kinerja dan Kepuasan.
Selain merekomendasikan gaya kepemimpinan agar sesuai situasi, teori path-goal menawarkan saran lain untuk pemimpin. Sebagian besar dari mereka berhubungan dengan motivasi dan kepuasan, yaitu sebagai berikut:
1.      Kenali atau mengaktifkan kebutuhan anggota kelompok 'dimana pemimpin memiliki kontrol.
2.      Meningkatkan penghargaan (reward) kepada anggota tim untuk mencapai tujuan kerja. itu Pemimpin mungkin memberikan karyawan yang berkinerja tinggi sebuah pengakuan khusus.
3.      Membuat jalan untuk penerimaan penghargaan (reward) lebih mudah dengan pembinaan dan memberikan arahan. Misalnya, seorang manajer membantu anggota tim agar dipilih untuk proyek tingkat tinggi.
4.      Membantu anggota kelompok menjelaskan harapan mereka tentang bagaimana pencapaian kinerja yang bagus dan bagaimana kinerja dapat menghantarkan anggota memperoleh reward.
5.      Mengurangi hambatan frustasi untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, pemimpin mungkin menyewa pekerja sementara untuk membantu anggota kelompok mengejar ketinggalan pekerjaan.
6.      Meningkatkan peluang untuk kepuasan pribadi jika anggota kelompok melakukan tugas secara efektif.
7.      Hati-hati untuk tidak mengganggu orang dengan memberi mereka petunjuk tentang hal-hal yang sebenarnya mereka sudah ketahui cara melakukannya dengan baik.
8.      Untuk mencapai kinerja dan kepuasan yang tinggi, pemimpin harus menyediakan struktur yang jelas. Untuk mencapai hal ini, pemimpin harus memperjelas keinginan tujuan apa yang akan dicapai kepada anggota kelompok.
Sebagai seorang pemimpin, Anda dapat memperoleh manfaat dari teori path-goal dengan menerapkan delapan metode ini untuk mempengaruhi kinerja. Chemers menunjukkan bahwa meskipun kepentingan penelitian dalam teori path-goal telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, prinsip-prinsip dasar teori ini masih bagus untuk diterapkan.Teori komprehensif kepemimpinan harus mencakup gagasan bahwa tindakan pemimpin memiliki dampak besar pada motivasi dan kepuasan anggota kelompok.Meskipun kontribusi potensi teori path-goal mengandung begitu banyak isi dan kompleksitas, teori ini masih menarik bagi sebagian manajer.


3.4    Gaya Pengambilan Keputusan  


Model normatif (sebelumnya dikenal sebagai model pemimpin-partisipasi) mengidentifikasi lima gaya pengambilan keputusan, masing-masing mencerminkan tingkat partisipasi yang berbeda oleh anggota kelompok:
1.    Putuskan. Pemimpin membuat keputusan sendiri dan baik mengumumkan atau menjualnya ke grup. Pemimpin mungkin menggunakan keahlian dalam mengumpulkan informasi dari kelompok atau dari orang lain yang tampaknya memiliki informasi yang relevan dengan masalah.
2.    Konsultasikan (Individual). Pemimpin menyajikan masalah untuk anggota kelompok individual, mengumpulkan saran-saran mereka, dan kemudian membuat keputusan.
3.    Konsultasikan (Group). Pemimpin menyajikan masalah untuk anggota grup dalam rapat, mengumpulkan saran-saran mereka, dan kemudian membuat keputusan.
4.    Memfasilitasi. Pemimpin menyajikan masalah dan kemudian bertindak sebagai fasilitator, mendefinisikan masalah yang akan dipecahkan dan batas-batas di mana keputusan harus dilakukan. Pemimpin ingin persetujuan dan menghindari harus nya ide menerima lebih berat didasarkan pada kekuasaan posisi.
5.     Delegasi. Pemimpin memungkinkan kelompok untuk membuat keputusan dalam batas yang ditentukan. Meskipun pemimpin tidak langsung campur tangan dalam kelompok musyawarah kecuali secara eksplisit diminta, ia bekerja di belakang layar, menyediakan sumber daya dan dorongan.


Faktor Kontingensi
Pemimpin diagnosa situasi dalam hal tujuh variabel, atau faktor kontingensi, yang berkontribusi terhadap memilih yang paling sesuai gaya pengambilan keputusan. Berdasarkan jawaban atas variabel tersebut, pemimpin atau manajer mengikuti jalan melalui matriks keputusan untuk memilih salah satu dari lima gaya pengambilan keputusan. Model ini memiliki dua versi: satu ketika waktu sangat penting, dan satu ketika pertimbangan yang lebih penting adalah mengembangkan pengambilan keputusan kemampuan anggota kelompok '. Ketika pengembangan anggota kelompok menerima prioritas yang lebih tinggi, pemimpin atau manajer lebih bergantung pada kelompok untuk membuat keputusan bahkan jika proses ini memakan waktu. Situasi di mana keputusan harus dicapai dengan cepat.Faktor situasional, atau variabel masalah, tercantum di bagian atas matriks.Menentukan faktor-faktor ini membuat model pendekatan kontingensi. Pengambilan keputusan gaya yang dipilih tergantung pada faktor-faktor ini, yang didefinisikan sebagai berikut:
1.      Keputusan Signifikansi: Pentingnya keputusan untuk keberhasilan proyek atau organisasi
2.      Pentingnya Komitmen: Pentingnya komitmen anggota tim untuk keputusan
3.      Pemimpin Keahlian: pengetahuan Anda atau keahlian dalam kaitannya dengan masalah
4.      Kemungkinan Komitmen: Kemungkinan bahwa tim akan membuat komitmen dengan Keputusan Anda bisa membuat sendiri
5.      Dukungan Kelompok: Sejauh mana tim mendukung organisasi tujuan dipertaruhkan dalam masalah
6.      Kelompok Keahlian: pengetahuan anggota Tim 'atau keahlian dalam kaitannya dengan masalah
7.      Tim Kompetensi: Kemampuan anggota tim untuk bekerja sama dalam memecahkan masalah


Model normatif menyediakan layanan berharga untuk berlatih menjadi manajer dan pemimpin.Ini mendorong mereka untuk mengajukan pertanyaan tentang variabel kontingensi dalam situasi pengambilan keputusan.Manajer yang mengikuti prosedur cenderung untuk meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan mereka.Selain itu, manajer yang membuat keputusan konsisten dengan Model lebih cenderung dianggap sebagai effective.

Teori sumber daya kognitif 
Teori ini menguji kondisi dimana sumber daya kognitif seperti kecerdasan dan pengalaman ini berhubungan dengan kinerja kelompok. Menurut teori sumber daya kognitif, kinerja dari kelompok seorang pemimpin ditentukan oleh sebuah interaksi rumit anatara dua cirri pemimpin (kecerdasan dan pengalaman), sebuah jenis perilaku pemimpin (kepemimpinan mengarahkan), dan dua aspek situasi kepemimpinan (tekanan antarpribadi dan sifat tugas kelompok). Menurut teori tersebut, tekanan antarpribadi bagi pemimpin menengahi hubungan antara kecerdasan pemimpin dengan kinerja bawahan.Tekanan dapat disebabkan oleh seorang atasan yang menciptakan konflik peran atau menuntut keajaiban tanpa memberikan sumber daya dan dukungan yang diperlukan.
Teori ini merupakan teori Kepemimpinan psikologi industri dan organisasi yang dikembangkan oleh Fred Fiedler dan Joe Garcia pada tahun 1987 sebagai konseptualisasi dari model kontingensi Fiedler . Teori ini berfokus pada pengaruh pemimpin intelijen dan pengalaman tentangnya atau reaksinya terhadap stres .
Inti dari teori ini adalah bahwa stres adalah musuh rasionalitas,merusak kemampuan pemimpin untuk berpikir logis dan analitis. Namun, pengalaman pemimpin dan kecerdasan dapat mengurangi pengaruh stres pada (atau dia) nya tindakan: kecerdasan adalah faktor utama dalam situasi stres rendah, sementara jumlah pengalaman selama lebih selama-saat stres.


Prediksi teori sumber daya kognitif
1.      Kemampuan kognitif Seorang pemimpin memberikan kontribusi terhadap kinerja tim hanya ketika pendekatan pemimpin adalah direktif. Ketika para pemimpin lebih baik dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, agar rencana mereka dan keputusan untuk dilaksanakan, mereka perlu untuk memberitahu orang apa yang harus dilakukan, bukan hanya berharap mereka setuju dengan mereka. Ketika mereka tidak lebih baik dari orang-orang di tim, maka pendekatan non-direktif adalah lebih tepat, misalnya di mana mereka memfasilitasi diskusi terbuka di mana ide-ide tim dapat ditayangkan dan pendekatan yang terbaik diidentifikasi dan diimplementasikan.
2.      Stres mempengaruhi hubungan antara kecerdasan dan kualitas keputusan. Ketika ada tekanan rendah, maka intelijen adalah sepenuhnya fungsional dan memberikan kontribusi yang optimal.Namun, selama stres yang tinggi, kecerdasan alam tidak hanya membuat perbedaan, tetapi juga mungkin memiliki efek negatif.Salah satu alasan untuk ini mungkin bahwa orang cerdas mencari solusi rasional, yang mungkin tidak tersedia (dan mungkin salah satu penyebab stres).Dalam situasi seperti itu, seorang pemimpin yang berpengalaman dalam keputusan-keputusan 'usus merasa' dipaksa untuk mengandalkan pendekatan asing.Kemungkinan lain adalah bahwa pemimpin retret dalam dirinya / dirinya sendiri, berpikir keras tentang masalah ini, meninggalkan kelompok untuk perangkat mereka sendiri.
3.      Pengalaman adalah positif berhubungan dengan kualitas keputusan di bawah tekanan tinggi. Ketika ada situasi stres yang tinggi dan kecerdasan terganggu, pengalaman situasi yang sama atau mirip memungkinkan pemimpin untuk bereaksi dengan cara yang tepat tanpa harus berpikir hati-hati tentang situasi. Pengalaman pengambilan keputusan di bawah tekanan juga akan berkontribusi terhadap keputusan yang lebih baik daripada mencoba untuk mengatasi dengan otak-kekuasaan belaka.
4.      Untuk tugas-tugas sederhana, pemimpin intelijen dan pengalaman tidak relevan. Ketika bawahan diberi tugas yang tidak membutuhkan arahan atau dukungan, maka tidak peduli seberapa baik pemimpin adalah pada pengambilan keputusan, karena mereka mudah untuk membuat, bahkan untuk bawahan, dan karenanya tidak memerlukan dukungan lebih lanjut. 
5.      Kemampuan intelektual seorang pemimpin akan berhubungan dengan kinerja kelompok untuk gelar bahwa tugas membutuhkan penggunaan kemampuan intelektual. Teori sumber daya kognitif mengasumsikan bahwa pemimpin yang cerdas menyusun rencana yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan dari kurang pemimpin yang cerdas, terutama ketika rencana itu kompleks.(Bagaimana temuan ini cocok pengamatan Anda tentang peran intelijen dalam pemecahan masalah?)
  
3.5 Kepemimpinan Kontingensi di jajaran Eksekutif Perusahaan
Sebuah penyelidikan tentang bagaimana eksekutif tingkat atas memimpin organisasi mereka memberikan wawasan tambahan kepemimpinan kontingensi. Pendekatan para pemimpin ini mengambil posisi di perbatasan antara gaya dan strategi. Kami menyertakan informasi di sini di bawah kepemimpinan kontingensi karena setiap pendekatan dipilih berdasarkan analisis persyaratan situasi. Pendekatan kepemimpinan didefinisikan sebagai, gaya eksplisit koheren manajemen, bukan gaya pribadi. Namun, gaya manajemen berpusat pada perilaku kepemimpinan.
Charles M. Farkas, Philippe DeBacker, dan Suzy Wetlaufer mewawancarai 163 top eksekutif di enam benua untuk mempelajari bagaimana para pemimpin ini memberikan hasil konsisten yang luar biasa. Setelah meneliti 12.000 halaman transkrip wawancara, mereka mengidentifikasi lima pendekatan yang berbeda yang diungkapkan oleh analisis: strategis, aset manusia, keahlian, kotak, dan agen perubahan. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa para CEO sukses menilai kebutuhan perusahaan mereka, kemudian menyesuaikan mereka gaya kepemimpinan agar sesuai dengan situasi tertentu. Seperti yang ditunjukkan tabel berikut. 
 


Pendekatan strategis adalah sistematis, tidak memihak, dan merupakan analisis terstruktur dari  kekuatan dan kelemahan perusahaan dan misinya. CEO menggunakan pendekatan ini menganggap kontribusi besar mereka sebagai menciptakan, pengujian, dan merancang pelaksanaan strategi bisnis jangka panjang. Sebagian besar hari kerja mereka dikhususkan  melakukan kegiatan bertujuan untuk menganalisis situasi saat ini organisasi mereka dan yang paling utama bagaimana posisi bisnis yang menguntungkan di masa depan. CEO menggunakan pendekatan ini mencurahkan sekitar 80 persen dari waktu mereka untuk faktor eksternal seperti pelanggan, pesaing,kemajuan teknologi, dan tren pasar
Dalam pendekatan aset manusia, CEO dan staf perusahaan memberikan nilai tambah bagi organisasi melalui program perekrutan, retensi, dan pengembangan. CEO menggunakan pendekatan ini percaya bahwa perumusan strategi termasuk dalam unit bisnis. Mereka melihat pekerjaan mereka yang paling penting adalah menanamkan nilai-nilai yang dipilih, perilaku, dan sikap dengan mengelola pertumbuhan dan perkembangan individu.Untuk menerapkan pendekatan ini, mereka bepergian dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di sumber daya manusia kegiatan seperti perekrutan, evaluasi kinerja, dan perencanaan karir.Tujuan penting dari pendekatan aset manusia adalah untuk mengembangkan manajer unit bisnis ke titik di mana mereka bertindak dan membuat keputusan sesuai keinginan CEO. CEO aset manusia percaya bahwa karyawan yang baik harus melakukan sesuai dengan cara perusahaan.
Eksekutif yang menggunakan pendekatan kehalian percaya bahwa tanggung jawab utama CEO adalah memilih dan menyebarluaskan seluruh organisasi sesuai bidang keahlian yang akan memberikan perusahaan keunggulan kompetitif. Mayoritas kerja mereka waktu dikhususkan untuk kegiatan yang mendorong budidaya dan perbaikan terus-menerus .Di antara kegiatan tersebut mempelajari penelitian teknologi baru, menganalisis produk pesaing, dan bertemu dengan insinyur dan pelanggan.Bidang keahlian meliputi pemasaran, manufaktur, teknologi, dan distribusi. Anggota organisasi yang memiliki keahlian teknis yang baik dan berbagi di unit organisasi akan di berikan reward. Faktor kontingensi kunci untuk mendukung pendekatan keahlian adalah jika keahlian tertentu dapat memberikan perusahaan yang keuntungan kompetitif yang signifikan.
Sebuah box approach terjadi ketika kelompok perusahaan menambah nilai dengan menciptakan, berkomunikasi, dan mengawasi pengendalian kontrol.Kontrol bisa dalam beberapa bentuk, termasuk langkah-langkah keuangan, aturan, prosedur, dan nilai-nilai yang menentukan batas-batas untuk kinerja semua karyawan.Tujuan dari kontrol ini adalah untuk memastikan pengalaman yang seragam dan dapat diprediksi bagi karyawan dan pelanggan, dan risiko yang lebih rendah.CEO yang menggunakan pendekatan kotak mencurahkan banyak hari kerja mereka untuk menghadiri penyimpangan dari standar, seperti hasil kuartalan yang di bawah perkiraan.Mereka juga mencurahkan waktu untuk memberi penghargaan kepada karyawan yang perilakunya dan Kinerja sesuai dengan standar kontrol.
CEO yang menggunakan pendekatan change agent percaya bahwa peran yang paling penting mereka adalah untuk menciptakan lingkungan penemuan terus menerus, bahkan jika penekanan seperti itu tentang perubahan menciptakan gangguan jangka pendek seperti kecemasan, kebingungan, dan hasil keuangan yang lebih buruk. Agen perubahan CEO menghabiskan sampai 75 persen dari waktu mereka menggunakan pidato, rapat, dan bentuk-bentuk komunikasi untuk memotivasi anggota untuk merangkul perubahan.Mereka bertemu secara teratur dengan berbagai pemangku kepentingan untuk perubahan.agen perubahan eksekutif secara teratur mengunjungi pabrik, membuat dan menjawab email, dan menghadiri piknik perusahaan

Kepemimpinan ketika Krisis
Di antara potensi krisis yang dihadapi organisasi adalah penurunan pendapatan drastis; tertunda kebangkrutan; pembunuhan di tempat kerja; perilaku skandal atau kejahatan oleh eksekutif; bencana alam, seperti badai, banjir, atau gempa bumi; dan pemboman dan serangan teroris lainnya. Memimpin selama krisis dapat dianggap sebagai kepemimpinan kontingensi karena situasi menuntut bahwa pemimpin menekankan perilaku tertentu, sikap, dan sifat-sifat. Kepemimpinan Krisis adalah proses memimpin anggota kelompok melalui keadaan tiba-tiba dan tak terduga sebagian besar, sangat negatif, dan menguras emosi. Di sini kita menggambarkan delapan kepemimpinan atribut dan perilaku yang terkait dengan berhasil memimpin sebuah organisasi atau unit organisasi melalui krisis


1.      Jadilah tegas
Prinsip yang paling diterima dalam kepemimpinan krisis adalah bahwa pemimpin harus mengambil tindakan tegas untuk memperbaiki situasi.Setelah rencana dirumuskan, itu harus secara luas dikomunikasikan untuk membantu anggota kelompok mengetahui bahwa suatu tindakan telah dilakukan tentang keadaan tersebut.  Contohnya Setelah fasilitas fisik mereka hancur dalam serangan teroris di World Trade Center pada 11 September, 2001, beberapa pemimpin mengumumkan hari berikutnya bahwa perusahaan mereka akan pindah ke lokasi cadangan di dekatnya. Mengkomunikasikan rencana membantu mengurangi ketidakpastian tentang apa yang terjadi pada perusahaan dan orang-orang di dalamnya. Seorang pemimpin yang mengambil tindakan sangat terlihat untuk menangani krisis mungkin akan dipandang sebagai pemimpin kompeten.
2.      Memimpin dengan Belas kasih
Menampilkan kasih sayang dengan kekhawatiran, kecemasan, dan frustrasi anggota kelompok adalah keterampilan interpersonal yang penting untuk kepemimpinan krisis. Jenis kepemimpinan yang Belas kasih yang membawa tentang penyembuhan organisasi melibatkan mengambil beberapa bentuk tindakan publik yang meredakan luka dan mengilhami orang lain untuk bertindak juga. Kepemimpinan yang Belas kasih meliputi dua set terkait tindakan. itu pertama adalah untuk menciptakan suatu lingkungan di mana mempengaruhi pekerja bisa bebas mendiskusikan bagaimana mereka merasa, seperti pertemuan kelompok untuk membicarakan krisis atau bencana. kedua adalah untuk menciptakan suatu lingkungan di mana para pekerja yang mengalami sakit dapat menemukan metode untuk meringankan penderitaan mereka sendiri dan orang lain. pemimpin mungkin membentuk dana khusus untuk membantu keluarga pekerja yang menjadi korban bencana atau memberikan pekerja kesempatan untuk menerima konseling kesedihan
3.      Membangun kembali kebiasaan bekerja secara rutin
Meskipun mungkin tampak tak berperasaan dan berlawanan dengan intuisi, cara yang efektif untuk membantu orang mengatasi krisis kerja adalah untuk mendorong mereka untuk kembali bekerja rutin mereka. Hal ini penting bagi pekerja untuk mengungkapkan perasaan mereka tentang krisis sebelum memfokuskan kembali pada pekerjaan, tetapi setelah mereka memiliki, kembali ke pekerjaan membantu mereka dalam realitas dan mengembalikan tujuan untuk mereka hidup
4.      Hindari Mentalitas Circle The Wagon
Salah satu cara terburuk untuk memimpin kelompok melalui krisis adalah dengan sangat membela diri terhadap kritik atau menyangkal melakukan kesalahan. Pendekatan penolakan yang sama disebut sebagai menjaga mentalitas bunker atau diam seribu basa masalah. Alih-alih bekerja sama dengan para pemangku kepentingan lainnya dalam krisis, pemimpin mengambil sikap defensif.
5.      Tunjukkan Optimisme
Pesimisme meningkatdi setiap krisis, sehingga pemimpin optimis dapat membantu energi anggota kelompok untuk mengatasi saat-saat buruk. Pemimpin krisis yang efektif membuat rencana aksi yang memberi orang harapan untuk masa depan yang lebih baik. Barbara Baker Clark berpendapat bahwa peran seorang pemimpin selama krisis adalah untuk mendorong harapan.
6.      Mencegah Krisis Melalui Perencanaan Bencana
Bentuk ideal dari kepemimpinan krisis adalah untuk mencegah krisis melalui perencanaan bencana. Bagian penting dari perencanaan fisik bencana, misalnya, adalah untuk mengantisipasi di mana Anda akan pergi, bagaimana Anda akan berhubungan dengan karyawan, dan di mana Anda mungkin mengatur tempat kerja sementara. memiliki daftar vendor cadangan jika mereka terkena bencana fisik juga penting. Pemilik usaha kecil harus jaringan dengan pemilik bisnis lain dan setuju untuk saling membantu jika terjadi serangan krisis. Mengatur kelompok pendukung secara cepat , seperti sebagai konselor kesedihan, merupakan elemen kunci lain dari perencanaan bencana. Bahkan fakta membiarkan karyawan tahu bahwa ada rencana bencana dapat menjadi kepemimpinan yang efektif tindakan karena dapat menurunkan kecemasan pekerja.
7.      Memberikan Kinerja Stabil
Para pemimpin yang efektif yang berkinerja stabil, bahkan di bawah beban kerja berat dan kondisi tidak pasti.stabil dalam kondisi krisis memberikan kontribusi untuk efektivitas karena membantu anggota tim mengatasi Situasi. Ketika pemimpin tetap tenang, anggota kelompok yakin bahwa hal-hal akan berhasil. Stabilitas juga membantu pemimpin manajerial tampil profesional dan keren di bawah tekanan
8.      Jadilah Pemimpin Transformasional
Pada saat krisis besar , kepemimpinan transformasional mungkin menjadi pilihan. Pemimpin transformasional sering dapat menyebabkan organisasi keluar dari kesengsaraan nya.Kepemimpinan transformasional mungkin bermanfaat untuk organisasi bermasalah baik dalam menangani krisis langsung dan dalam melakukan yang kinerja lebih baik dalam jangka panjang.
 



BAB 4 PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Peranan seorang pemimpin didalam organisasi sangat menentukan karena dia merupakan motor penggeraknya organisasi untuk mencapai sasaran . Di dalam menjalankan perannya itu tidaklah setiap pemimpin itu efektif di dalam menjalankan tugasnya, hal ini mungkin karena dia tidak mempunyai bakat atau tidak terdidik khusus untuk menjadi pemimpin.


Kepemimpinan dengan model kontingensi memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin. Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971).
Sebagai seorang pemimpin, Anda dapat memperoleh manfaat dari teori path-goal dengan menerapkan delapan metode ini untuk mempengaruhi kinerja. Chemers menunjukkan bahwa meskipun kepentingan penelitian dalam teori path-goal telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, prinsip-prinsip dasar teori ini masih bagus untuk diterapkan. Teori komprehensif kepemimpinan harus mencakup gagasan bahwa tindakan pemimpin memiliki dampak besar pada motivasi dan kepuasan anggota kelompok. Meskipun kontribusi potensi teori path-goal mengandung begitu banyak isi dan kompleksitas, teori ini masih menarik bagi sebagian manajer.


DAFTAR PUSTAKA


Eddy, Suwardi Drs. 1982. Aspek-aspek Kepemimpinan. Bandung : Penerbit Alumni
Gitosudarmo, Indriyo Drs, M.com, (Hons). 2009. Prinsip Dasar Manajemen Edisi 3. Yogyakarta : BPFE
Benyamin, Liputo. 1988. Pengantar Manajemen. Jakarta : -
Cribbin, James. 1982. KEPEMIMPINAN MENGEFEKTIFKAN STRATEGI ORGANISASI. Jakarta : PT. PUSTAKA BINAMAN PRESSINDO.
  












Tidak ada komentar:

Posting Komentar