BUDAYA SIRAMAN AIR TERJUN SEDUDO DI
KABUPATEN NGANJUK
Makalah
Diajukan Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah:
Pengantar
Ilmu Antropologi
Dosen:
Hermanto Rohman,S.Sos, MPA
Oleh:
- Pravita yonika A 140910201004
- Juliyul hidayatullah 140910201023
- Agista setyaningrum 140910201025
- Ayu fitri N 140910201031
- Muh fatikhun nada 140910201033
- Nur erfiana 140910201040
- Rina hartina N 140910201048
ILMU ADMINISTRASI
NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
BAB
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan
merupakan hasil karya,cipta dan karsa manusia yang menjadi suatu inspirasi dan
tuangan hasil olah pikir dari suatu individu maupun masyarakat.[1] Indonesia
merupakan salah satu Negara mempunyai beragam jenis kebudayaan. Hampir setiap
daerahnya mempunyai kebudayaan yang unik dan menarik yang menjadi identitas
tersendiri dari daerah tersebut dan tentunya selalu berbeda antara daerah satu
dengan daerah yang lain. Kebudayaan yang telah ada di suatu daerah harus tetap
di jaga dan di lestarikan supaya tidak punah karena kebudayaan merupakan
kekayaan peninggalan nenek moyang terdahulu yang sangat bernilai. Kebudayaan selain memberikan ciri
khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau
daerah. Kebudayaan terdiri dari suatu aktivitas, hasil karya, dan ide.[2] Namun
pada saat ini banyak kalangan generasi muda kita yang kurang memperhatikan
kebudayaannya sendiri, mereka justru lebih mengutamakan kebudayaan dari negara lain.
Keadaan ini jelas sangat
mengkhawatirkan, karena siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikan
kebudayaan daerah jika bukan generasi-generasi mudanya.
Maka dari itu
perlu adanya
pendekatan dari setiap
individu itu sendiri agar generasi
muda kita lebih mencintai kebudayaan dalam negeri. Sehingga kebudayaan daerah akan terus terjaga dan
tidak tergantikan dengan budaya luar yang tidak jarang justru berlainan dengan
nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sebelumnya.
Di Nganjuk
sendiri terdapat kebudayaan yang sangat menarik untuk dipelajari dan
dimengerti. Tradisi
kebudayaan tersebut adalah siraman air terjun sedudo yang digelar setiap
tanggal satu suro. Oleh karena,itu kelompok kami
mengambil judul “ Tradisi Siraman Air Terjun Sedudo Satu Syura” untuk di
jadikan makalah karena selain unik dan menarik tentunya untuk memberikan
informasi menganai kebudayaan yang ada di kabupaten Nganjuk yang belum
diketahui masyarakat secara luas yang di dalamnya mengulas tentang prosesi
siraman yang dilaksanakan setiap satu syura.Tradisi ini dipercayai dapat
memberikan manfaat awet muda,berkah selamat apabila melaksanakan ritual
tersebut.Selain itu,tradisi ini untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang yang
dilaksanakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Sehingga kelompok kami memberi
apresiasi terhadap plestarian kebudayaan yang ada di Nganjuk tersebut. Karena,menjaga dan melestarikan
kebudayaan merupakan kewajiban setiap individu , agar tetap terjaga dan tidak
punah .Sehingga kearifan budaya lokal tidak tergeser oleh kebudaayan luar
negeri yang semakin mendominasi kebudayaan lokal.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
proses
siraman air terjun sedudo ?
2. Bagaimanakah
tradisi siraman air terjun sedudo dalam konteks ilmu antropologi?
1.3 Tujuan
Makalah
1. Untuk
mengetahui tentang proses
siraman air terjun sedudo.
2.
Untuk dapat mempelajari tentang tradisi
siraman air terjun sedudo dalam konteks ilmu antropologi.
1.3 Manfaat
1.
Bagi
kelompok kami untuk lebih mengetahui lebih dalam akan budaya nganjuk tersebut dari
segala aspek menurut kajian antropologi.
2.
Bagi
pembaca, sebagai bahan refrensi tentang aneka budaya di Indonesia ini terutama
dalam makalah ini yang membahas budaya nganjuk “siraman serdudo”
BAB 2.TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tradisi
Secara etimologi tradisi berasal dari bahasa Latin “Traditio” yang
artinya diteruskan atau dibiasakan,
dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan
untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
biasanya dari suatu negara,
kebudayaan,
waktu,
atau agama
yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi
yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali)
lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[3]
Sebenarnya banyak sekali pengertian dari tradisi. Namun, pengertian
tradisi menurut para ahli secara garis besar adalah suatu budaya dan adat
istiadat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi dan diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Nenek moyang kita tentu menginginkan para generasi
penerus tetap menjaga kelestarian peninggalan mereka. Peninggalan tersebut
dapat berupa materil dan non materil. Peninggalan materil contohnya adalah
lukisan, patung, dan arca. Sementara itu, peninggalan non materil berupa bahasa
atau dialek, upacara adat, dan norma.[4]
Tradisi yang dimiliki masyarakat bertujuan agar membuat hidup manusia
kaya akan budaya dan nilai-nilai bersejarah. Selain itu, tradisi juga akan
menciptakan kehidupan yang harmonis. Karena di setiap tradisi yang ada pasti mengandung
nilai-nilai kehidupan yang patut untuk menjadi pelajaran. Namun, hal tersebut akan terwujud hanya apabila
manusia menghargai, menghormarti, dan menjalankan suatu tradisi secara baik dan
benar serta sesuai aturan.
2.2
Daerah Nganjuk
Kabupaten Nganjuk adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa timur. Kabupaten
Nganjuk terletak antara 11105' sampai dengan 112013' BT dan 7020' sampai dengan
7059' LS. Luas Kabupaten Nganjuk adalah sekitar ± 122.433 Km2 atau 122.433 Ha
Nganjuk
dahulunya bernama Anjuk Ladang yang dalam bahasa Jawa Kuno
berarti Tanah Kemenangan. Dibangun pada tahun 859 Caka atau 937 Masehi.
Berdasarkan peta Jawa Tengah dan Jawa Timur pada permulaan tahun 1811 yang terdapat dalam buku tulisan Peter Carey
yang berjudul : ”(Orang Jawa dan masyarakat Cina (1755-1825)”, penerbit
Pustaka Azet, Jakarta, 1986; diperoleh gambaran yang agak jelas tentang daerah Nganjuk.
Apabila dicermati peta tersebut ternyata daerah Nganjuk
terbagi dalam 4 daerah yaitu Berbek,
Godean, Nganjuk
dan Kertosono merupakan daerah yang dikuasai Belanda
dan kasultanan Yogyakarta, sedangkan daerah Nganjuk
merupakan mancanegara kasunanan Surakarta. Sejak adanya Perjanjian
Sepreh 1830, atau tepatnya
tanggal 4 juli 1830, maka semua kabupaten di Nganjuk
(Berbek, Kertosono dan Nganjuk
) tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment. Alur sejarah
Kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan kabupaten Berbek dibawah kepemimpinan Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo 1. Dimana tahun 1880 adalah tahun suatu
kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibukota Kabupaten Berbek pindah ke Kabupaten
Nganjuk.Dalam Statsblad van
Nederlansch Indie No.107, dikeluarkan tanggal 4 Juni 1885, memuat SK Gubernur
Jendral dari Nederlandsch Indie tanggal 30 Mei 1885 No 4/C tentang batas-batas
Ibukota Toeloeng Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek dan Kertosono, antara lain disebutkan: III tot hoafdplaats
Ngandjoek, afdeling Berbek, de navalgende Wijken en kampongs : de
Chineeshe Wijk de kampong Mangoendikaran de kampong Pajaman de kampong Kaoeman.
Dengan ditetapkannya Kota Nganjuk yang meliputi kampung dan desa tersebut di
atas menjadi ibukota Kabupaten
Nganjuk, maka secara resmi pusat pemerintahan
Kabupaten Berbek berkedudukan di Nganjuk.
2.3
Air Terjun Sedudo
Air
Terjun Sedudo berada di ketinggianan 1.438 meter di atas permukaan laut (dpl)
di sisi timur kawasan Gunung Wilis, dengan ketinggian air terjun sekitar 105
meter.
Air
terjun Sedudo sudah terkenal sejak jaman Majapahit yang mana air terjun ini
diyakini sebagai Tirta Suci yang mengalir dari kahyangan. Bahkan Para
Raja, Bangsawan dan Pendeta pada jaman itu sering mempergunakan untuk upacara
ritual, yaitu memandikan arca atau senjata pusaka dalam upacara Parna
Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat
berkah keselamatan dan awet muda. Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara
rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro bulan Sura
(kalender Jawa). Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit pada bulan
itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun
tersebut.
2.4
Tanggal 1 suro
Satu suro atau dalam islam biasa disebut 1 Muharram adalah hari tahun baru untuk tahun hijriyah, karena
Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Satu suro
biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal
satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa
dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah
malam.Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini
dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian masyarakat
pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun
melakukan ibadah lain. Tradisi saat malam
satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini,seperti
di daerah nganjuk pada tanggal 1 suro digunakan sebagai ritual siraman di air
terjun sedudo.
2.5 Sejarah Siraman sedudo
Pementasan tari tradisional, larung sesaji , pengambilan trita
amerta, dan mandi bersama. Sebelum pertunjukan tari dimulai, seorang sesepuh
berjalan menuju Air terjun Sedudo, di belakangnya berderet lima sesepuh lain
yang membawa sesaji, disusul para putri domas, lima penari Bedhayan, dan paling
belakang terdiri dari sepuluh gadis perawan berambut panjang dan lima perjaka
tampan. Setibanya di kolam Air terjun Sedudo, tarian tradisional pun segera
dipentaskan. Prosesi dilanjutkan dengan ritual larung sesaji di kolam Air
Terjun Sedudo oleh Bupati Nganjuk. Setelah usai, para penari kembali
mementaskan tarian. Di akhir pertunjukan tari, Bupati Nganjuk menyerahkan klenthing
kepada sepuluh gadis berambut panjang sebagai pertanda prosesi ritual Amek
Tirta dilaksanakan. Ritual tersebut dilakukan dengan mengisi klenthing
dengan kucuran air Sedudo. Usai ritual selesai para pengunjung dan tamu
undangan berebut masuk ke kolam Air terjun Sedudo untuk mandi
bersama. Para pengunjung yang berebut untuk mandi percaya bahwa air dari
Air terjun Sedudo memiliki berbagai khasiat magis. Kepercayaan mengenai khasiat
air Sedudo tidak lepas dari sejarah/mitos terjadinya Sedudo. Ada beberapa
pendapat mengenai mitos tersebut
:
1. Terjadinya
Air Terjun Sedudo berkaitan dengan mitos Sanak Pogalan. Sanak Pogalan adalah
petani tebu yang harus menelan kecewa dari penguasa. Dia pun bertapa disekitar
sumber Air Terjun Sedudo lereng Gunung Wilis dan berupaya membuat sumber air
yang besar untuk menenggelamkan Nganjuk.
2.
Di era Kadari, seorang Rsi bernama Curigonoto bermaksud
menjadikan kawasan Sedudo sebagai hutan rempah. Kemudian ia pun memohon pada
penguasa Kadiri untuk mengirimkan benih rempah kepadanya. Permohonannya pun
dikabulkan, namun saat dikirimkan secara tiba-tiba bibit tersebut tumpah disekitar
sumber Air Terjun Sedudo. Kemudian tanaman rempah pun tumbuh subur di sekitar
sumber. Karena mitos-mitos itulah banyak pengunjung yang meyakini khasiat dari
Air Terjun Sedudo.
3.
Obyek wisata air terjun Sedudo, selain indah, juga
memiliki kisah yang panjang. Di zaman Majapahit, air terjun ini dikabarkan
sering digunakan untuk mencuci senjata milik raja dan patung dalam upacara
Prana Prasthista. Bahkan, Mahapatih Gajah Mada konon menggunakan lokasi air
terjun untuk menggembleng prajurit-prajuritnya. Sedangkan pada zaman kerajaan Islam,
Sedudo dikenal sebagai kawasan pertapaan Ki Ageng Ngaliman. penyebar agama
Islam di wilayah Nganjuk. Karena itu, dalam perkembangannya, setiap bulan Sura
selalu diadakan ritual mandi
Sedudo atau siraman Sedudo yang diawali prosesi tarian oleh enam penari
berambut panjang yang masih perawan alias dalam keadaan suci.
4
Dulu
kawasan Sedudo merupakan tempat pertapaan Ki Ageng Ngaliman, tokoh pelopor
penyebaran agama Islam di Nganjuk waktu itu. Sebagai penghormatan atas
jasa-jasanya, maka setiap bulan Suro sebuah upacara ritual selalu digelar.
Ritual yang diberin nama pengambilan Air Sedudo itu diisi dengan acara
iring-iringan gadis berambut panjang yang berbusana adat Jawa, berjalan
perlahan menuju kolam yang berada tepat di bawah air terjun.
5
Mereka
percaya, air yang mengalir tak henti-hentinya mengalir di Sedudo, bersumber
dari tempat keramat, yakni tempat di mana para dewa bersemayam. Tak heran,
ketika malam tahun baru Hijriyah 1 Muharram, atau biasa dikenal malam 1 Suro
oleh masyarakat Jawa, ribuan pengunjung selalu memadati Sedudo. Di tengah
dinginnya air terjun Sedudo, mereka mandi beramai-ramai di kolamnya.
BAB 3.PEMBAHASAN
3.1
Proses Siraman Air
Terjun Sedudo
Keberadaan air terjun pada mulanya hanya
sebagai proses alam biasa, namun dalam perkembangannya tidak terlepas dari
cerita misteri yang kemudian mentradisi. Seperti halnya cerita yang mewarnai
air terjun Sedudo yang kemudian melatarbelakangi lahirnya ritual Tirta Amarta
Sedudo.[5]
Cerita ini berawal dari sebuah keluarga yang tinggal di desa
Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk. Mereka adalah Begawan,
istri nya Dewi Sri serta adik ipar nya Barata. Mereka adalah
keluarga yang disegani masyarakat sekitar bahkan sebagai panutan dan sesepuh di
desa tersebut. Mereka sangat taat pada agama. Segudang ilmu agama telah ia
kuasai sehingga bila ada orang yang memerlukan mereka dengan senang membantunya. Dalam kehidupan sehari - hari mereka
sangat baik suka menolong rela berkorban demi kepentingan umum atau orang
lain.Tidak pernah berfikir tentang kepentingan pribadi. Mereka berpandangan
hidup adalah milik Alloh dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu banyak
orang yang datang untuk belajar agama minta nasehat maupun minta berkah do’a darinya. Namun suatu ketika situasi sedikit
berubah, entah setan dari mana yang telah merasuki salah satu darinya, Barata
sering melakukan hal hal tercela. Ia tidak suka lagi membantu orang yang sedang
susah bahkan menghinanya. Bahkan ia sering mengganggu ketentraman warga
sekitarnya. Pernah suatu ketika Begawan melihat Bengawan bercakap – cakap dengan seseorang. Ketika itu
bengawan sedang memarahi salah satu penduduk karena meminta makan namun
dimarahi karena malas. Dan barata pun mendengarnya. Akhirnya karena resah dengan kelakuan kakak iparnya dia pun
memanggil kakanya itu untuk berbincang hingga adu mulut. Akhirnya bengawan
mengusir barata untuk meninggalkan rumahnya. Dewi srih meihatnya akhirnya
memutuskan untuk menyusul adik satu-satunya tersebut. Walaupun bengawan sudah
menahan dewi sri itupun gagal. Begawan
merenungi semua kejadian ini. Dia tidak punya pilihan lain kecuali harus hidup
menyendiri sebagai seorang duda. Dia pun pergi untuk membersihkan diri mohon
petunjuk kepada Alloh dengan cara bertapa di bawah air terjun yang sangat tinggi
untuk selamanya. orang sekitar yang memerlukan bagawan sering mengunjungi untuk
minta nasehat atau petuahnya. Anehnya selama bertapa begawan tidak pernah
berubah ia selalu tampak muda terutama di awal tahun baru hijriah Muharam atau
bulan Suro. Semenjak itulah banyak orang yang berdatangan untuk mensucikan diri
dan mencari berkah di sana. Mereka percaya barang siapa yang melakukan ritual
di bawah air terjun tersebut akan mendapat berkah dan awet muda terutama di
awal tahun baru hijriah atau bulan Suro. Dan air terjun tersebut di kenal
dengan nama SEDUDO yang artinya seorang dudo. Sampai sekarang masyarakat masih percaya dengan mitos
tersebut. Banyak masyarakat yang datang ke air terjun sedudo untuk mandi
mensucikan diri agar mendapat berkah dan awet muda. Terutama di tahun baru Hijriah atau bulan Suro.
Untuk melestarikan budaya di air terjun sedudo Pemerintah daerah Kabupaten
Nganjuk mengadakan acara ”Siraman sedudo” setiap tahunnya. Tepatnya di awal
tahun baru Hijriah atau bulan Suro.
Secara umum rangkaian acara Siraman Sedudo
terdiri :
1.
Pementasan tari tradisional
Prosesi siraman diawali dengan tabur bunga di tengah-tengah objek
wisata air terjun sedudo sebelum
pertunjukan tari dimulai, seorang sesepuh berjalan menuju Air terjun Sedudo, di
belakangnya berderet lima sesepuh lain yang membawa sesaji, disusul para putri
domas, lima penari Bedhayan, dan paling belakang terdiri dari sepuluh gadis
perawan berambut panjang dan lima perjaka tampan. Setibanya di kolam Air terjun
Sedudo, tarian tradisional pun segera dipentaskan. kemasan tari Bedhayan Amek
Tirta semakin menambah kesakralan prosesi ini, tari itu sendiri merupakan
penggambaran rasa wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun makna dari tari bedhaya itu sendiri
adalah sebagai berikut.
Tari bedhaya
merupakan salah satu budaya yang lahir dari lingkungan keratin yang memiliki
tata aturan dan falsafah jawa yang tinggi. Dalam pola penyusunan tari bedhaya
lebih menitik beratkan pada konsep fungsi dan kedudukan lambing Sembilan di
dalam pola pemikiran masyarakat jawa, konsep Manunggaling Kawula Gusti, dan
konsep bentuk penggunaan lambang kehidupan yang lain. pada intingya konsep ini
menggambarkan perwujudan tertinggi dari hubungan antara manusia dan Tuhannya.
2.
Larung sesaji
Prosesi dilanjutkan dengan ritual larung sesaji di kolam Air
Terjun Sedudo oleh Bupati Nganjuk. Tujuan dari diadakannya larung sesaji adalah
sebagai ucapan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat yang
telah diberikan. Dalam
prakteknya larung sesaji memiliki nilai-nilai kearifan tersendiri.
a. Nilai Religi
Secara
vertical makna larung sesaji dalam budaya jawa mengandung maksud memohon
keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan dan menghormati para leluhur
terdahulu.
b. Nilai Kekerabatan
Nilai
kekerabatan terlihat ketika masyarakat sekitar saling bahu-membahu mencukupi
kebutuhan untuk mengadakan acara larung sesaji. Dalam kegiatan ini tak ada
perbedaan status dan kasta antara orang yang berada dan tidak. Semua saling
berkerjasama melakukan ritual larung sesaji yang dianggap sacral oleh
masyarakat setempat.
c. Nilai Keindahan
Nilai ini
tercermin dari bentuk larung sesaji itu sendiri yang disusun rapi dengan isi
yang bermacam-macam dari hasil bumi yang menimbulkan suatu kesan keindahan
tersendiri. Serta terlihat dari busana yang dikenakan oleh peserta upacara yang
menjadi daya tarik tersendiri untuk para wisatawan.
d. Nilai Simbolik
Setiap isi
dari persembahan sesaji memiliki makna dan tujuan tersendiri. Misalnya sekar
telon gondo wangi, yang terdiri dari tiga macam bunga yaitu melati, bunga
kanthil, dan bunga kenanga. Sekar telon gondo wangi melambangkan asal manusia
yaitudari tunggal yang maksudnya bersatunya (manunggaling) Tuhan, bapak dan
ibu. Juga melambangkan kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan
kodrat menghidupi, yang membuat hidup. Adapun kodrat manusia terdiri dari tiga
yaitu lahir, berkembang biak dan mati.[6]
3.
Pengambilan tirta amerta
Setelah usai, para penari kembali mementaskan tarian. Di
akhir pertunjukan tari, Bupati Nganjuk menyerahkan klenthing kepada
sepuluh gadis berambut panjang sebagai pertanda prosesi ritual Amek Tirta dilaksanakan. Ritual tersebut
dilakukan dengan mengisi klenthing dengan kucuran air Sedudo.
4.
Mandi bersama
Usai ritual selesai para pengunjung dan tamu undangan berebut
masuk ke kolam Air terjun Sedudo untuk mandi bersama. Para pengunjung yang
berebut untuk mandi percaya bahwa air dari Air terjun Sedudo memiliki berbagai
khasiat magis. Kepercayaan mengenai khasiat air Sedudo tidak lepas dari
sejarah/mitos terjadinya Sedudo. Ada beberapa pendapat mengenai mitos tersebut.
2.2 Prosesi Upacara Sedudo dalam Konteks Antropologi
Munculnya suatu tradisi di daerah tertentu
merupakan salah satu wujud kortuksi sosial yang erat kaitannya dengan hubungan
sosial, yang merupakan produk sosio-kultural atas kehidupan sehari-hari seorang
individu. Kontruksi sosial pada dasarnya akan terbentuk melalui interaksi
antara individu dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan terdekatnya, dalam
hal ini pelaku ritual air terjun sedudo mulai mengenal dan pemahaman tradisi
ritual sedudo setelah disosialisasikan oleh lingkungan keluarga maupun
lingkungan terdekatnya. Kemudian masyarakat akan mulai mengkontruksi sebuah
pemaknaan tentang kebudayaan apakah masih patut dipertahankan dan dilestarikan
karena sudah membudaya dalam masyarakat tersebut. Hal ini dalam konteks antropologi kebudayaan tentang tradisi siraman
sedudo termasuk dalam aliran budaya
strukturalisme dan fungsionalisme. Penggolongan tersebut sesuai dengan konsep structural fungsional yang
mana kebudayaan pada awalnya dibentuk sesuai dengan kontruksi yang telah
direncanakan dengan fungsi dan tujuan yang telah di tentukan pula. Kemudian
jika pada akhirnya fungsi dari budaya yang telah dibentuk tadi sudah tidak ada,
maka masyarakat akan meninggalkan budaya itu sendiri.
Adapun pengertian Strukturalisme sendiri adalah Menurut Levi
Straus, merupakan
analisa kebudayaan manusia seperti yang dinyatakan dalam kesenian,pola
kehidupan sehari-hari dan upacara-upacara sebagai perwakilan lahiriyah dari
struktur pemikiran manusia . Menurut Durkheim, bahwa manusia tidak ada artinya tanpa
masyarakat karena ide berasal dari masyrakat sehingga kebudayaan lahir dari
pemahaman manusia terhadap masyarakat.[7] Sedangkan
teori fungsionalisme menurut Malinowski adalah semua unsur kebudayaan
bermanfaat bagi masyarakat dimana unsure itu terdapat. Dengan kata lain
pandangan funsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola
kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan.
Jadi jika dikaji dari alirannya, prosesi upacara Sedudo termasuk dalam
strukturalisme dan fungsionalisme. Hal ini dikarenakan dari proses pengadaannya
upacara. Upaca siraman air terjun sedudo pada awalnya diadakan untuk melestarikan
warisan nenek moyang yang melakukan tradisi mandi di bawah air terjun.
Masyarakat sekitar tidak berani meninggalkan kebudayaan tersebut karena sejak
dahulu sudah ditanamkan pemahaman kalau masyarakat tidak melakukan kegiatan
tersebut maka daerahnya akan tertimpa bencan. Penanaman pemahaman ini membuat
masyarakat selalu mengkaitkan bencana yang terjadi di daerahnya dengan kegiatan
siraman ini. Sehingga hal ini mengkontruk masyarakat untuk selalu melakukan
upacara. Hal tersebutlah yang masuk kedalam teori structural. Selain itu dalam
masyarakat juga tertanam pemahaman kalau mandi di air terjun sedudo akan
membawa beberapa manfaat berupa awet muda, mudah rezekinya dan masih banyak
lagi. Fungsi-fungsi atau manfaat dari upacara inilah yang masuk kedalam teori
fungsionalisme. Dalam hal ini konteks antropologi menganalisa
kebudayaan manusia dalam pola kehidupan sehari-hari dan upacara-upacara sebagai
perwakilan lahiriah-lahiriah dari struktur pemikiran manusia. Tradisi kebudayaan prosesi mandi di
bawah air sedudo hingga saat ini masih tetap dilaksanakan sampai sekarang. Prosesi
mandi air di Sedudo ini dipercaya sudah berlangsung turun-temurun sejak jaman
Kerajaan Majapahit, namun baru sekitar tahun 1987 prosesi ini dikemas sebagai
kalender budaya dan berlangsung hingga sekarang. Pengemasan kegiatan ini dalam kalender budaya
juga memiliki tujuan tersendiri dari pemerintah daerahnya. Pemerintah daerah
Nganjuk berusah menjadikan upacara ini menjadi salah satu icon pariwisata
daerahnya. Sehingga dengan penjadwalan acara ini diharapkan bisa menarik wisatawan-wisatawan untuk dating
melihat kegiatan upacara yang berguna untuk menambah pemasukan pemerintah
daerah melalui sector pariwisata dan juga untuk lebih mengenalkan daerah
Nganjuk kepada masyarakat luas.
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki tingkat pluralisme
yang tinggi. Dari ras dan suku-suku Kebudayaan yang dimiliki Indonesia
sangatlah beragam. Dan asyik untuk di teliti karena tingkat budaya yang tinggi
menjadikan Indonesia merupakan Negara wisata yang menarik wisatawan baik lokal
maupun asing untuk berkunjung ke daerah-daerah yang ada di Indonesia itu
sendiri.
Salah satu
contohnya adalah di desa Ngliman, Kecamatan Sawahan,
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terdapat Panorama air terjun yang terletak 1.438
meter di atas permukaan air laut. Air terjun Sedudo dengan tinggi 105 meter
berada di kaki Gunung Wilis.[8] Tempat
yang memiliki mitos tersendiri yang diwujudkan dalam ritual siraman air tejun
sedudo yang di amini oleh seluruh masyarakatnya. Dan dalam kajian antropologi kebudayaan tersebut
sesuai dengan teori structural dan fungsional.
4.2 Saran
Kita sebagai generasi muda yang memegang tongkat estafet kepemimpinan
selanjutnya sudah selayaknya ikut menjaga dan melestarikan budaya yang ada di
Negara ini. Supaya budaya yang sudah ada tidak tergeser oleh budaya asing yang
terus gencar berusaha masuk kedalam pola kehidupan masyarakat kita saat ini.
Selain itu seluruh elemen masyarakat juga harus saling membahu untuk menjaga
dan melestarikan budaya supaya terjadi singkronisasi dan harmonisasi dalam
menjalankan kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ihromi. T.O, 2006. Pokok-pokok Antropologi
Budaya, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Jurnal menelisik nilai-nilai kearifan lokal
dalam upacara tradisi larung sesaji di telaga sarangan desa sarangan kecamatan
plaosan kabupaten magetan
[1]http://www.duniapelajar.com/2014/08/17/pengertian-tradisi-menurut-para-ahli/
[2]
ibid
[4]
http://www.duniapelajar.com/2014/08/17/pengertian-tradisi-menurut-para-ahli/
[5]
www.eastjava.com/tourism/nganjuk/ina/ceremonies.html
[6]
Jurnal menelisik nilai-nilai
kearifan lokal dalam upacara tradisi larung sesaji di telaga sarangan desa
sarangan kecamatan plaosan kabupaten magetan
[7]
ibid
[8]
ibid
Kesimpulannya ini bagaimana?
BalasHapusTolong dibantu
Kesimpulannya ini bagaimana?
BalasHapusTolong dibantu