Minggu, 05 Juni 2016

Budaya Siraman Air Terjun Sedudo di Kabupaten Nganjuk (makalah)





BUDAYA SIRAMAN AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK

Makalah
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Pengantar Ilmu Antropologi

Dosen:
Hermanto Rohman,S.Sos, MPA

Oleh:
  1. Pravita yonika A                     140910201004
  2. Juliyul hidayatullah                 140910201023
  3. Agista setyaningrum               140910201025
  4. Ayu fitri N                              140910201031
  5. Muh fatikhun nada                 140910201033
  6. Nur erfiana                              140910201040
  7. Rina hartina N                         140910201048


ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014







BAB 1.PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Kebudayaan merupakan hasil karya,cipta dan karsa manusia yang menjadi suatu inspirasi dan tuangan hasil olah pikir dari suatu individu maupun masyarakat.[1] Indonesia merupakan salah satu Negara mempunyai beragam jenis kebudayaan. Hampir setiap daerahnya mempunyai kebudayaan yang unik dan menarik yang menjadi identitas tersendiri dari daerah tersebut dan tentunya selalu berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Kebudayaan yang telah ada di suatu daerah harus tetap di jaga dan di lestarikan supaya tidak punah karena kebudayaan merupakan kekayaan peninggalan nenek moyang terdahulu yang sangat bernilai. Kebudayaan selain memberikan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Kebudayaan terdiri dari suatu aktivitas, hasil karya, dan ide.[2] Namun pada saat ini banyak kalangan generasi muda kita yang kurang memperhatikan kebudayaannya sendiri, mereka justru lebih mengutamakan kebudayaan dari negara lain. Keadaan ini jelas sangat mengkhawatirkan, karena siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah jika bukan generasi-generasi mudanya. Maka dari itu perlu adanya pendekatan dari setiap individu itu sendiri agar generasi muda kita lebih mencintai kebudayaan dalam negeri. Sehingga kebudayaan daerah akan terus terjaga dan tidak tergantikan dengan budaya luar yang tidak jarang justru berlainan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sebelumnya.
Di Nganjuk sendiri terdapat kebudayaan yang sangat menarik untuk dipelajari dan dimengerti. Tradisi kebudayaan tersebut adalah siraman air terjun sedudo yang digelar setiap tanggal satu suro. Oleh karena,itu kelompok kami mengambil judul “ Tradisi Siraman Air Terjun Sedudo Satu Syura” untuk di jadikan makalah karena selain unik dan menarik tentunya untuk memberikan informasi menganai kebudayaan yang ada di kabupaten Nganjuk yang belum diketahui masyarakat secara luas yang di dalamnya mengulas tentang prosesi siraman yang dilaksanakan setiap satu syura.Tradisi ini dipercayai dapat memberikan manfaat awet muda,berkah selamat apabila melaksanakan ritual tersebut.Selain itu,tradisi ini untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang yang dilaksanakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Sehingga kelompok kami memberi apresiasi terhadap plestarian kebudayaan yang ada di Nganjuk  tersebut. Karena,menjaga dan melestarikan kebudayaan merupakan kewajiban setiap individu , agar tetap terjaga dan tidak punah .Sehingga kearifan budaya lokal tidak tergeser oleh kebudaayan luar negeri yang semakin mendominasi kebudayaan lokal.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah proses siraman air terjun sedudo ?
2.      Bagaimanakah tradisi siraman air terjun sedudo dalam konteks ilmu antropologi?

1.3 Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui tentang proses siraman air terjun sedudo.
2.      Untuk dapat mempelajari tentang tradisi siraman air terjun sedudo dalam konteks ilmu antropologi.



1.3 Manfaat
1.      Bagi kelompok kami untuk lebih mengetahui lebih dalam akan budaya nganjuk tersebut dari segala aspek menurut kajian antropologi.
2.      Bagi pembaca, sebagai bahan refrensi tentang aneka budaya di Indonesia ini terutama dalam makalah ini yang membahas budaya nganjuk “siraman serdudo”



























BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tradisi
Secara etimologi tradisi berasal dari bahasa Latin “Traditio” yang artinya diteruskan atau dibiasakan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[3]
Sebenarnya banyak sekali pengertian dari tradisi. Namun, pengertian tradisi menurut para ahli secara garis besar adalah suatu budaya dan adat istiadat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nenek moyang kita tentu menginginkan para generasi penerus tetap menjaga kelestarian peninggalan mereka. Peninggalan tersebut dapat berupa materil dan non materil. Peninggalan materil contohnya adalah lukisan, patung, dan arca. Sementara itu, peninggalan non materil berupa bahasa atau dialek, upacara adat, dan norma.[4]
Tradisi yang dimiliki masyarakat bertujuan agar membuat hidup manusia kaya akan budaya dan nilai-nilai bersejarah. Selain itu, tradisi juga akan menciptakan kehidupan yang harmonis. Karena di setiap tradisi yang ada pasti mengandung nilai-nilai kehidupan yang patut untuk menjadi pelajaran. Namun, hal tersebut akan terwujud hanya apabila manusia menghargai, menghormarti, dan menjalankan suatu tradisi secara baik dan benar serta sesuai aturan.
2.2 Daerah Nganjuk
Kabupaten Nganjuk adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa timur. Kabupaten Nganjuk terletak antara 11105' sampai dengan 112013' BT dan 7020' sampai dengan 7059' LS. Luas Kabupaten Nganjuk adalah sekitar ± 122.433 Km2 atau 122.433 Ha
Nganjuk dahulunya bernama Anjuk Ladang yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti Tanah Kemenangan. Dibangun pada tahun 859 Caka atau 937 Masehi. Berdasarkan peta Jawa Tengah dan Jawa Timur pada permulaan tahun 1811 yang terdapat dalam buku tulisan Peter Carey yang berjudul : ”(Orang Jawa dan masyarakat Cina (1755-1825)”, penerbit Pustaka Azet, Jakarta, 1986; diperoleh gambaran yang agak jelas tentang daerah Nganjuk. Apabila dicermati peta tersebut ternyata daerah Nganjuk terbagi dalam 4 daerah yaitu Berbek, Godean, Nganjuk dan Kertosono merupakan daerah yang dikuasai Belanda dan kasultanan Yogyakarta, sedangkan daerah Nganjuk merupakan mancanegara kasunanan Surakarta. Sejak adanya Perjanjian Sepreh 1830, atau tepatnya tanggal 4 juli 1830, maka semua kabupaten di Nganjuk (Berbek, Kertosono dan Nganjuk ) tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment. Alur sejarah Kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan kabupaten Berbek dibawah kepemimpinan Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo 1. Dimana tahun 1880 adalah tahun suatu kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibukota Kabupaten Berbek pindah ke Kabupaten Nganjuk.Dalam Statsblad van Nederlansch Indie No.107, dikeluarkan tanggal 4 Juni 1885, memuat SK Gubernur Jendral dari Nederlandsch Indie tanggal 30 Mei 1885 No 4/C tentang batas-batas Ibukota Toeloeng Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek dan Kertosono, antara lain disebutkan: III tot hoafdplaats Ngandjoek, afdeling Berbek, de navalgende Wijken en kampongs : de Chineeshe Wijk de kampong Mangoendikaran de kampong Pajaman de kampong Kaoeman. Dengan ditetapkannya Kota Nganjuk yang meliputi kampung dan desa tersebut di atas menjadi ibukota Kabupaten Nganjuk, maka secara resmi pusat pemerintahan Kabupaten Berbek berkedudukan di Nganjuk.
2.3 Air Terjun Sedudo
Air Terjun Sedudo berada di ketinggianan 1.438 meter di atas permukaan laut (dpl) di sisi timur kawasan Gunung Wilis, dengan ketinggian air terjun sekitar 105 meter.
Air terjun Sedudo sudah terkenal sejak jaman Majapahit yang mana air terjun ini diyakini sebagai Tirta Suci yang mengalir dari kahyangan.  Bahkan Para Raja, Bangsawan dan Pendeta pada jaman itu sering mempergunakan untuk upacara ritual, yaitu memandikan arca atau senjata pusaka dalam upacara Parna Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat berkah keselamatan dan awet muda. Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro bulan Sura (kalender Jawa).  Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit pada bulan itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun tersebut.


2.4 Tanggal 1 suro
Satu suro atau dalam islam biasa disebut 1 Muharram adalah hari tahun baru untuk tahun hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini,seperti di daerah nganjuk pada tanggal 1 suro digunakan sebagai ritual siraman di air terjun sedudo.
2.5 Sejarah Siraman sedudo
Pementasan tari tradisional, larung sesaji , pengambilan trita amerta, dan mandi bersama. Sebelum pertunjukan tari dimulai, seorang sesepuh berjalan menuju Air terjun Sedudo, di belakangnya berderet lima sesepuh lain yang membawa sesaji, disusul para putri domas, lima penari Bedhayan, dan paling belakang terdiri dari sepuluh gadis perawan berambut panjang dan lima perjaka tampan. Setibanya di kolam Air terjun Sedudo, tarian tradisional pun segera dipentaskan. Prosesi dilanjutkan dengan ritual larung sesaji di kolam Air Terjun Sedudo oleh Bupati Nganjuk. Setelah usai, para penari kembali mementaskan tarian. Di akhir pertunjukan tari, Bupati Nganjuk menyerahkan klenthing kepada sepuluh gadis berambut panjang sebagai pertanda prosesi ritual Amek Tirta dilaksanakan. Ritual tersebut dilakukan dengan mengisi klenthing dengan kucuran air Sedudo. Usai ritual selesai para pengunjung dan tamu undangan berebut masuk ke kolam Air terjun Sedudo untuk mandi bersama. Para pengunjung yang berebut untuk mandi percaya bahwa air dari Air terjun Sedudo memiliki berbagai khasiat magis. Kepercayaan mengenai khasiat air Sedudo tidak lepas dari sejarah/mitos terjadinya Sedudo. Ada beberapa pendapat mengenai mitos tersebut :
1.      Terjadinya Air Terjun Sedudo berkaitan dengan mitos Sanak Pogalan. Sanak Pogalan adalah petani tebu yang harus menelan kecewa dari penguasa. Dia pun bertapa disekitar sumber Air Terjun Sedudo lereng Gunung Wilis dan berupaya membuat sumber air yang besar untuk menenggelamkan Nganjuk.
2.      Di era Kadari, seorang Rsi bernama Curigonoto bermaksud menjadikan kawasan Sedudo sebagai hutan rempah. Kemudian ia pun memohon pada penguasa Kadiri untuk mengirimkan benih rempah kepadanya. Permohonannya pun dikabulkan, namun saat dikirimkan secara tiba-tiba bibit tersebut tumpah disekitar sumber Air Terjun Sedudo. Kemudian tanaman rempah pun tumbuh subur di sekitar sumber. Karena mitos-mitos itulah banyak pengunjung yang meyakini khasiat dari Air Terjun Sedudo.
3.      Obyek wisata air terjun Sedudo, selain indah, juga memiliki kisah yang panjang. Di zaman Majapahit, air terjun ini dikabarkan sering digunakan untuk mencuci senjata milik raja dan patung dalam upacara Prana Prasthista. Bahkan, Mahapatih Gajah Mada konon menggunakan lokasi air terjun untuk menggembleng prajurit-prajuritnya. Sedangkan pada zaman kerajaan Islam, Sedudo dikenal sebagai kawasan pertapaan Ki Ageng Ngaliman. penyebar agama Islam di wilayah Nganjuk. Karena itu, dalam perkembangannya, setiap bulan Sura selalu diadakan ritual mandi Sedudo atau siraman Sedudo yang diawali prosesi tarian oleh enam penari berambut panjang yang masih perawan alias dalam keadaan suci.
4        Dulu kawasan Sedudo merupakan tempat pertapaan Ki Ageng Ngaliman, tokoh pelopor penyebaran agama Islam di Nganjuk waktu itu. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, maka setiap bulan Suro sebuah upacara ritual selalu digelar. Ritual yang diberin nama pengambilan Air Sedudo itu diisi dengan acara iring-iringan gadis berambut panjang yang berbusana adat Jawa, berjalan perlahan menuju kolam yang berada tepat di bawah air terjun. 
5        Mereka percaya, air yang mengalir tak henti-hentinya mengalir di Sedudo, bersumber dari tempat keramat, yakni tempat di mana para dewa bersemayam. Tak heran, ketika malam tahun baru Hijriyah 1 Muharram, atau biasa dikenal malam 1 Suro oleh masyarakat Jawa, ribuan pengunjung selalu memadati Sedudo. Di tengah dinginnya air terjun Sedudo, mereka mandi beramai-ramai di kolamnya.





BAB 3.PEMBAHASAN


3.1    Proses Siraman Air Terjun Sedudo
Keberadaan air terjun pada mulanya hanya sebagai proses alam biasa, namun dalam perkembangannya tidak terlepas dari cerita misteri yang kemudian mentradisi. Seperti halnya cerita yang mewarnai air terjun Sedudo yang kemudian melatarbelakangi lahirnya ritual Tirta Amarta Sedudo.[5]
Cerita ini berawal dari sebuah keluarga yang tinggal di desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk. Mereka adalah Begawan, istri nya Dewi Sri serta adik ipar nya Barata. Mereka adalah keluarga yang disegani masyarakat sekitar bahkan sebagai panutan dan sesepuh di desa tersebut. Mereka sangat taat pada agama. Segudang ilmu agama telah ia kuasai sehingga bila ada orang yang memerlukan mereka dengan senang membantunya. Dalam kehidupan sehari - hari mereka sangat baik suka menolong rela berkorban demi kepentingan umum atau orang lain.Tidak pernah berfikir tentang kepentingan pribadi. Mereka berpandangan hidup adalah milik Alloh dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu banyak orang yang datang untuk belajar agama minta nasehat maupun minta berkah do’a darinya. Namun suatu ketika situasi sedikit berubah, entah setan dari mana yang telah merasuki salah satu darinya, Barata sering melakukan hal hal tercela. Ia tidak suka lagi membantu orang yang sedang susah bahkan menghinanya. Bahkan ia sering mengganggu ketentraman warga sekitarnya. Pernah suatu ketika Begawan melihat Bengawan bercakap – cakap dengan seseorang. Ketika itu bengawan sedang memarahi salah satu penduduk karena meminta makan namun dimarahi karena malas. Dan barata pun mendengarnya. Akhirnya karena  resah dengan kelakuan kakak iparnya dia pun memanggil kakanya itu untuk berbincang hingga adu mulut. Akhirnya bengawan mengusir barata untuk meninggalkan rumahnya. Dewi srih meihatnya akhirnya memutuskan untuk menyusul adik satu-satunya tersebut. Walaupun bengawan sudah menahan dewi sri itupun gagal. Begawan merenungi semua kejadian ini. Dia tidak punya pilihan lain kecuali harus hidup menyendiri sebagai seorang duda. Dia pun pergi untuk membersihkan diri mohon petunjuk kepada Alloh dengan cara bertapa di bawah air terjun yang sangat tinggi untuk selamanya. orang sekitar yang memerlukan bagawan sering mengunjungi untuk minta nasehat atau petuahnya. Anehnya selama bertapa begawan tidak pernah berubah ia selalu tampak muda terutama di awal tahun baru hijriah Muharam atau bulan Suro. Semenjak itulah banyak orang yang berdatangan untuk mensucikan diri dan mencari berkah di sana. Mereka percaya barang siapa yang melakukan ritual di bawah air terjun tersebut akan mendapat berkah dan awet muda terutama di awal tahun baru hijriah atau bulan Suro. Dan air terjun tersebut di kenal dengan nama SEDUDO yang artinya seorang dudo. Sampai sekarang masyarakat masih percaya dengan mitos tersebut. Banyak masyarakat yang datang ke air terjun sedudo untuk mandi mensucikan diri agar mendapat berkah dan awet muda. Terutama di tahun baru Hijriah atau bulan Suro. Untuk melestarikan budaya di air terjun sedudo Pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk mengadakan acara ”Siraman sedudo” setiap tahunnya. Tepatnya di awal tahun baru Hijriah atau bulan Suro.
Secara umum rangkaian acara Siraman Sedudo terdiri :
1.    Pementasan tari tradisional
Prosesi siraman diawali dengan tabur bunga di tengah-tengah objek wisata air terjun sedudo sebelum pertunjukan tari dimulai, seorang sesepuh berjalan menuju Air terjun Sedudo, di belakangnya berderet lima sesepuh lain yang membawa sesaji, disusul para putri domas, lima penari Bedhayan, dan paling belakang terdiri dari sepuluh gadis perawan berambut panjang dan lima perjaka tampan. Setibanya di kolam Air terjun Sedudo, tarian tradisional pun segera dipentaskan. kemasan tari Bedhayan Amek Tirta semakin menambah kesakralan prosesi ini, tari itu sendiri merupakan penggambaran rasa wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun makna dari tari bedhaya itu sendiri adalah sebagai berikut.
Tari bedhaya merupakan salah satu budaya yang lahir dari lingkungan keratin yang memiliki tata aturan dan falsafah jawa yang tinggi. Dalam pola penyusunan tari bedhaya lebih menitik beratkan pada konsep fungsi dan kedudukan lambing Sembilan di dalam pola pemikiran masyarakat jawa, konsep Manunggaling Kawula Gusti, dan konsep bentuk penggunaan lambang kehidupan yang lain. pada intingya konsep ini menggambarkan perwujudan tertinggi dari hubungan antara manusia dan Tuhannya.
2.      Larung sesaji
Prosesi dilanjutkan dengan ritual larung sesaji di kolam Air Terjun Sedudo oleh Bupati Nganjuk. Tujuan dari diadakannya larung sesaji adalah sebagai ucapan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat yang telah diberikan. Dalam prakteknya larung sesaji memiliki nilai-nilai kearifan tersendiri.
a.       Nilai Religi
Secara vertical makna larung sesaji dalam budaya jawa mengandung maksud memohon keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan dan menghormati para leluhur terdahulu.
b.      Nilai Kekerabatan
Nilai kekerabatan terlihat ketika masyarakat sekitar saling bahu-membahu mencukupi kebutuhan untuk mengadakan acara larung sesaji. Dalam kegiatan ini tak ada perbedaan status dan kasta antara orang yang berada dan tidak. Semua saling berkerjasama melakukan ritual larung sesaji yang dianggap sacral oleh masyarakat setempat.
c.       Nilai Keindahan
Nilai ini tercermin dari bentuk larung sesaji itu sendiri yang disusun rapi dengan isi yang bermacam-macam dari hasil bumi yang menimbulkan suatu kesan keindahan tersendiri. Serta terlihat dari busana yang dikenakan oleh peserta upacara yang menjadi daya tarik tersendiri untuk para wisatawan.
d.      Nilai Simbolik
Setiap isi dari persembahan sesaji memiliki makna dan tujuan tersendiri. Misalnya sekar telon gondo wangi, yang terdiri dari tiga macam bunga yaitu melati, bunga kanthil, dan bunga kenanga. Sekar telon gondo wangi melambangkan asal manusia yaitudari tunggal yang maksudnya bersatunya (manunggaling) Tuhan, bapak dan ibu. Juga melambangkan kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat menghidupi, yang membuat hidup. Adapun kodrat manusia terdiri dari tiga yaitu lahir, berkembang biak dan mati.[6]
3.      Pengambilan tirta amerta
Setelah usai, para penari kembali mementaskan tarian. Di akhir pertunjukan tari, Bupati Nganjuk menyerahkan klenthing kepada sepuluh gadis berambut panjang sebagai pertanda prosesi ritual  Amek Tirta dilaksanakan. Ritual tersebut dilakukan dengan mengisi klenthing dengan kucuran air Sedudo.


4.      Mandi bersama
Usai ritual selesai para pengunjung dan tamu undangan berebut masuk ke kolam Air terjun Sedudo untuk mandi bersama. Para pengunjung yang berebut untuk mandi percaya bahwa air dari Air terjun Sedudo memiliki berbagai khasiat magis. Kepercayaan mengenai khasiat air Sedudo tidak lepas dari sejarah/mitos terjadinya Sedudo. Ada beberapa pendapat mengenai mitos tersebut.

2.2    Prosesi Upacara Sedudo dalam Konteks Antropologi
Munculnya suatu tradisi di daerah tertentu merupakan salah satu wujud kortuksi sosial yang erat kaitannya dengan hubungan sosial, yang merupakan produk sosio-kultural atas kehidupan sehari-hari seorang individu. Kontruksi sosial pada dasarnya akan terbentuk melalui interaksi antara individu dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan terdekatnya, dalam hal ini pelaku ritual air terjun sedudo mulai mengenal dan pemahaman tradisi ritual sedudo setelah disosialisasikan oleh lingkungan keluarga maupun lingkungan terdekatnya. Kemudian masyarakat akan mulai mengkontruksi sebuah pemaknaan tentang kebudayaan apakah masih patut dipertahankan dan dilestarikan karena sudah membudaya dalam masyarakat tersebut. Hal ini dalam konteks antropologi  kebudayaan tentang tradisi siraman sedudo  termasuk dalam aliran budaya strukturalisme dan fungsionalisme. Penggolongan tersebut sesuai dengan konsep structural fungsional yang mana kebudayaan pada awalnya dibentuk sesuai dengan kontruksi yang telah direncanakan dengan fungsi dan tujuan yang telah di tentukan pula. Kemudian jika pada akhirnya fungsi dari budaya yang telah dibentuk tadi sudah tidak ada, maka masyarakat akan meninggalkan budaya itu sendiri.
Adapun pengertian Strukturalisme sendiri adalah Menurut Levi Straus, merupakan analisa kebudayaan manusia seperti yang dinyatakan dalam kesenian,pola kehidupan sehari-hari dan upacara-upacara sebagai perwakilan lahiriyah dari struktur pemikiran manusia . Menurut Durkheim, bahwa manusia tidak ada artinya tanpa masyarakat karena ide berasal dari masyrakat sehingga kebudayaan lahir dari pemahaman manusia terhadap masyarakat.[7] Sedangkan teori fungsionalisme menurut Malinowski adalah semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsure itu terdapat. Dengan kata lain pandangan funsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan.
Jadi jika dikaji dari alirannya, prosesi upacara Sedudo termasuk dalam strukturalisme dan fungsionalisme. Hal ini dikarenakan dari proses pengadaannya upacara. Upaca siraman air terjun sedudo pada awalnya diadakan untuk melestarikan warisan nenek moyang yang melakukan tradisi mandi di bawah air terjun. Masyarakat sekitar tidak berani meninggalkan kebudayaan tersebut karena sejak dahulu sudah ditanamkan pemahaman kalau masyarakat tidak melakukan kegiatan tersebut maka daerahnya akan tertimpa bencan. Penanaman pemahaman ini membuat masyarakat selalu mengkaitkan bencana yang terjadi di daerahnya dengan kegiatan siraman ini. Sehingga hal ini mengkontruk masyarakat untuk selalu melakukan upacara. Hal tersebutlah yang masuk kedalam teori structural. Selain itu dalam masyarakat juga tertanam pemahaman kalau mandi di air terjun sedudo akan membawa beberapa manfaat berupa awet muda, mudah rezekinya dan masih banyak lagi. Fungsi-fungsi atau manfaat dari upacara inilah yang masuk kedalam teori fungsionalisme. Dalam hal ini konteks antropologi menganalisa kebudayaan manusia dalam pola kehidupan sehari-hari dan upacara-upacara sebagai perwakilan lahiriah-lahiriah dari struktur pemikiran manusia. Tradisi kebudayaan prosesi mandi di bawah air sedudo hingga saat ini masih tetap dilaksanakan sampai sekarang. Prosesi mandi air di Sedudo ini dipercaya sudah berlangsung turun-temurun sejak jaman Kerajaan Majapahit, namun baru sekitar tahun 1987 prosesi ini dikemas sebagai kalender budaya dan berlangsung hingga sekarang. Pengemasan kegiatan ini dalam kalender budaya juga memiliki tujuan tersendiri dari pemerintah daerahnya. Pemerintah daerah Nganjuk berusah menjadikan upacara ini menjadi salah satu icon pariwisata daerahnya. Sehingga dengan penjadwalan acara ini diharapkan  bisa menarik wisatawan-wisatawan untuk dating melihat kegiatan upacara yang berguna untuk menambah pemasukan pemerintah daerah melalui sector pariwisata dan juga untuk lebih mengenalkan daerah Nganjuk kepada masyarakat luas.





















BAB 4 PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki tingkat pluralisme yang tinggi. Dari ras dan suku-suku Kebudayaan yang dimiliki Indonesia sangatlah beragam. Dan asyik untuk di teliti karena tingkat budaya yang tinggi menjadikan Indonesia merupakan Negara wisata yang menarik wisatawan baik lokal maupun asing untuk berkunjung ke daerah-daerah yang ada di Indonesia itu sendiri.
Salah satu contohnya adalah di desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terdapat Panorama air terjun yang terletak 1.438 meter di atas permukaan air laut. Air terjun Sedudo dengan tinggi 105 meter berada di kaki Gunung Wilis.[8] Tempat yang memiliki mitos tersendiri yang diwujudkan dalam ritual siraman air tejun sedudo yang di amini oleh seluruh masyarakatnya. Dan dalam kajian antropologi kebudayaan tersebut sesuai dengan teori structural dan fungsional.

4.2 Saran
Kita sebagai generasi muda yang memegang tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya sudah selayaknya ikut menjaga dan melestarikan budaya yang ada di Negara ini. Supaya budaya yang sudah ada tidak tergeser oleh budaya asing yang terus gencar berusaha masuk kedalam pola kehidupan masyarakat kita saat ini. Selain itu seluruh elemen masyarakat juga harus saling membahu untuk menjaga dan melestarikan budaya supaya terjadi singkronisasi dan harmonisasi dalam menjalankan kehidupan ini.



DAFTAR PUSTAKA

Ihromi. T.O, 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Jurnal menelisik nilai-nilai kearifan lokal dalam upacara tradisi larung sesaji di telaga sarangan desa sarangan kecamatan plaosan kabupaten magetan


[1]http://www.duniapelajar.com/2014/08/17/pengertian-tradisi-menurut-para-ahli/
[2] ibid
[3] ibid
[4] http://www.duniapelajar.com/2014/08/17/pengertian-tradisi-menurut-para-ahli/
[5] www.eastjava.com/tourism/nganjuk/ina/ceremonies.html
[6] Jurnal menelisik nilai-nilai kearifan lokal dalam upacara tradisi larung sesaji di telaga sarangan desa sarangan kecamatan plaosan kabupaten magetan
[7] ibid
[8] ibid
 



2 komentar: